PENDIDIKAN DAN KONFLIK SOSIAL
OLEH : AJAT ZATNIKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala
fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara
pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah social
dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari
pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap
individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan
berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa
tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di
masyarakat.
Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih
berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami
disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan
mengakibatkan konflik. Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk
tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga berperan positif dalam
memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok.
Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Konflik
senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan
suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan hidup.
Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan masalah yang
suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar kacau. Untuk itu
dibutuhkan suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan konflik yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Siswa
sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau
menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau
kemandirian mereka selalu melakukan interaksi sosial. Untuk mencapai kematangan
tersebut, siswa memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki
pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungan sosialnya, juga
pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu
keniscayaan bahwa proses perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara
mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak
selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan
dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan
siswa tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial.
Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi
dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga
masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar
jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku
siswa, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah
pribadi, sosial atau penyimpangan perilaku.
Siswa pada
masa kini dalam hubungan sosialnya lebih cenderung suka membuat sebuah “geng”
dan masih suka mencari sosok yang diidolakan, bahkan ada yang lebih membahayakan
lagi yakni ikut terlibat dalam tawuran. Terkait dengan masalah hubungan sosial
yang dihadapi siswa diperlukan satu pendidikan, yang mana pendidikan tersebut diharapkan dapat mengatasi suatu permasalahan sosial tersebut.
Konflik merupakan
gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik
bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang
dan waktu, di mana saja dan kapan
saja. Di dalam dunia pendidikan sekolahpun permasalahan seperti konflik juga
sering terjadi dikarenakan adanya perbedaan status sosial yang dibawa dari
kebudayaannya. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang
mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan
kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan soial tidak ada satu pun manusia
yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan,
kemauan, kehendak, tujuan, dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa di
antaranya ada yang dapat, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan
sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan di dalam lembaga dapat
terjadi karena di dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus
karena setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masing-masing dari
latar belakangnya [1][1]. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya
akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil
hingga peperangan.
Untuk mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai konflik di dalam suatu lembaga terutama pokok
pembahasan kali ini yaitu pada bidang pendidikan yang memfokuskan konflik
sosial di sekolah, maka perlu adanya pendukung-pendukung seperti landasan teori
tentang konflik itu sendiri, maka dalam bab yang akan pemakalah sajikan yaitu
konflik sosial di sekolah yang dilandasi oleh beberapa teori konflik.
Ketika kita
membicarakan konflik sosial masyarakat, kita akan langsung dihadapkan pada
kompleksnya konflik yang terjadi dalam masyarakat, terutama dalam konteks ini
masyarakat Indonesia sendiri, mulai dari konflik dalam politik, krisi pangan,
kekerasan, pluralitas agama sampai seporter sepak bola. Konflik seperti ini
memang sudah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah, apalagi Sejak jatuhnya
Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang
disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami
disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi, politik, dan agama yang bermula sejak
akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa
dan negara. Pada waktu itu pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk
melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok
tertentu (Tilaar, 2004: 123).
Dalam ruang
lingkup konflik sosial secara
universal, konflik pasti terjadi pada setiap kelompok masyarakat, organisasi,
instansi-instansi, pluralitas keagamaan dan sebagainya. Dalam makalah singkat
ini penulis sedikit banyak mencoba mengaja para pembaca dan anggota diskusi
kelas untuk membicarakan dan membahas lebih jauh dan konferhensif tentang peran
pendidikan dalam mengatasi konflik social dalam pluralits keagaan, disamping
juga akan disinggung tentang konflik social di sekolah dan juga dalam
masyarakat secara umum.
Sebagai
suatu wadah pengembangan kretivitas dan imajinasi para peserta didik,
pendidikan harus berupaya menanamkan jiwa-jiwa sosialis kepada peserta didik,
sebagai bekal para peserta didik dalam menghadapi kompleknya konflik yang
terjadi dalam masyarakat era saat ini (kontemporer). Suatau keadaan yang sangat
miris jika sebuah lembaga pendidikan hanya menjadi tempat transformasi ilmu
secara formal, namun lebih dari itu, disampingkan sebagai temapat transformasi
ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan juga harus mampu membentuk dan melahirkan
generasi-generasi muda yang berakhlukul karimah, berbudi luhur dan berjiwa
tanggung jawab. Jadi pendidikan semestinya dan sudah seharusnya mampu
melahirkan cikal bakal generasi-generasi bangsa yang mampu memberikan jawaban
terhadap kompleksnya konflik yang terjadi. Lebih dari itu juga, pendidikan
harus mampu mendidik masyarakat Indonesia yang multicultural, menuju kepada
masyarakat yang sosialis, dinamis, pluralis, toleransi, patriotism dan
demokratis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan?
2.
Apa pengertian dari konflik dan teori konflik sosial menurut
para ahli?
3.
Apa yang menyebabkan terjadinya konflik sosial?
4.
Bagaimana solusi
konflik sosial di sekolah?
5.
Bagaimana hubungan pendidikan dan konflik sosial di
sekolah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui
pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan
2. Untuk mengetahui
pengertian konflik dan teori konflik sosial
menurut para ahli
3. Untuk mengetahui cara mencari solusi konflik sosial di sekolah
4. Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik social
5. Untuk mengetahui hubungan pendidikan dan konflik sosial di sekolah
BAB II
PEMBAHASAN PENDIDIKAN DAN KONFLIK
A.
Pengertian Pendidikan
Definisi
pendidikan dapat kita telusuri dari kata pembentuknya. Pendidikan adalah kata
didik yang mendapat imbuhan ‘pe’ dan ‘an’. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, didik memiliki arti
‘memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan. Sedangkan
definisi pendidikan sendiri adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Jadi dalam hal ini definisi pendidikan adalah proses
atau perbuatan mendidik.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan adalah
proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan penelitian. Dari pengertian
diatas terlihat bahwa melalui pendidikan, orang mengalami perubahan sikap
dan tata laku, orang berproses menjadi dewasa, menjadi matang dalam sikap dan
tata laku. Proses pendewsaan ini dilakukan melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut juga dipahami bahwa
pendidikan merupakan proses, cara dan perbuatan mendidik.
Definisi
pendidikan juga dapat kita lihat pada berbagai literatur dan gagasan yang
disampaikan oleh banyak ahli. Misalnya Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959)
mempunyai pendapat mengenai definisi pendidikan. Menurut Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia ini pendidikan adalah “Pendidikan umumnya berarti daya upaya
untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect)
dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara [2][1].
Berdasarkan
definisi di atas, ditemukan 3 (tiga) pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1)
usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3)
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga
pokok pikiran tersebut.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Dalam arti
sederhana, pendidikan bisa diartikan sebagai proses sosialisasi, yakni usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuaidengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan diartikan
sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang
dewasa agar ia menjadi dewasa.
Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pada bab 2 pasal 3 dijelaskan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara
nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga
negara menjadi suatu bangsa. melalui pendidikan, setiap peserta didik
difasilitasi, dibimbing dan dibina untuk menjadi warganegara yang menyadari dan
merealisasikan hak dan kewajibannya. Pendidikan juga merupakan alat yang ampuh
untuk menjadikan setiap peserta didik dapat duduk sama rendah dan berdiri sama
tinggi.
Dari
berbagai definisi pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan
anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.
B.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu
pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia. Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut
pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.
Tujuan
pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam
lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk :
Pembinaan Akhlak, Penguasaan Ilmu, Keterampilan bekerja dalam masyarakat,
Mengembangkan akal dan Akhlak, Pengajaran Kebudayaan, Pembentukan kepribadian,
Menghambakan diri kepada Allah, Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat
Sedangkan
tujuan umum pendidikan Menurut kohnstamm dan gunning adalah untuk membentuk
insan kamil atau manusia sempurna. Sedangkan menurut kihajar dwantara, tujuan
akhir pendidikan ialah agar anak sebagai manusia (individu) dan sebagai anggota
masyarakat (manusia sosial) , dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi – tingginya.
Menurut UU
No. 2 Tahun 1985, Tujuan Pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada
tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
C. Sejarah Teori Konflik
Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat
dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu
demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik
modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas
konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori
sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis
fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai
masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat
dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883),
Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel
(1858-1918).
Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan
analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu
Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik
Kholdun bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan
vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika
yang terjadi di dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat
membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan
yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan
saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa
kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan
melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis
konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok
atau kelas yang dominant. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama
(consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik,
konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk
memaksakan nilai-nilai.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan
sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai
bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari
teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas
pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh
merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas
borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu
revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah
sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx
adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi
lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas
terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi
itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material,
yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat
berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis
Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan
tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai
sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya
dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power
(kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam
kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.
Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang
saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi
individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus
berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti
serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal
yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun,
hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang
membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah
tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas
dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial
dari Durkheim.
D.
Teori Konflik
Sebelum mengetahui beberapa
dari macam-macam teori konflik, maka alangkah baiknya terlebih dahulu diberi
pengantar tentang pengertian konflik itu sendiri. “Konflik” secara etimologis
berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere”
yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan
sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang
paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang mempertanyakan
“benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan,
iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, tempat tinggal, pekerjaan,
uang, dan kekuasaan?”, ternyata jawabannya tidak; dan ditanyakan oleh Cang
bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan,
perselisihan atau pertentangan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tak
berdaya.
Soerjono
Soekanto : Suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan
atau kekerasan.
Dari pemaparan di atas
secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau
persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok
yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan,
menyingkirkan, mengalahkan atau menyisihkan [3][2].
Teori konflik adalah
salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu
sistem yang terdiri dari berbagai bagian
atau komponen yang mempunyai kepentingan berbeda-beda dimana komponen
yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi
kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.[4][3]
Teori konflik ini sebenarnya dibangun dalam rangka untuk menentang secara
langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan
apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan
proposisi yang terdapat dalam teori fungsionarisme struktural.
Teori ini mulai muncul dalam sosiologi Amerika serikat pada tahun 1960-an
yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya
oleh Karl Marx dan Max weber. Kedua tokoh ini merupakan "teoritis
konflik" tetapi teori mereka berbeda satu sama lain, karena itu teori
konflik modern pun terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu teori.konflik neo-Marxian
dan teori konftik neo-weberian. Versi neo-Marxian lebih terkenal dan berpengeruh ketimbang versi
neo-Weberian.
Kedua teoretis konflik ini, Marx dan Weber, adalah penolakan terhadap gagasan bahwa
masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana
struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Para teoretisi konflik
memandang konflik dan pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai
individu dan kelompok yang saling bertentangan sebagai determinan utama dalam
pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain, struktur dasar masyarakat
sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan
kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi
berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena sumber-sumber daya ini dalam
kadar tertentu selalu terbatas, maka konflik untuk mendapatkannya selalu
terjadi.
Marx dan Weber menerapkan gagasan umum ini dalam teori posilogi mereka dengan cara
yang berbeda dan mereka pandang menguntungkan.
Karl Marx (stephen K. sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa
bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan
Kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi
dalam produksi. sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial
manusia, hubungan pribadi dglam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal
atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi
kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki
kekuatan-kekuatan'prajutri menjadi kelas sosial. Jadi kelas dominan menjalin
hubungan dengan kelas-kelas yang tersubordinasi dalam sebuah proses eksploitasi
ekonomi. secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersubordinasi ini akan marah
karena dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelas bahwa
menciptakan aparat politik yang kuat -negara yang mampu menekan pemberontakan
tersebut dengan kekuatan.
Dengan demikian, teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi
dalam produksi dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak
masyarakat. la juga berpendapat bahwa pertentangan antara kelas dominan dan
kelas yang tersubordinasi memainkan peranan sentral dalam menciptakan
bentuk-bentuk penting perubahan sosial. Sebenarnya sebagaimana yang ia
kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah
pertentangan-pertentangan kelas. Dalam hal ini Stephen K. Sanderson (1993:
'12), beberapa strategi konflik marxian-modern adalah sebagai berikut:
1.
Kehidupan sosial pada
dasarnya merupakan arena konflik ataupertentangan di antara dan di dalam
kelompok-kelompok yangbertentangan.
2.
Sumber-sumber daya
ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politikmerupakan hal pentingt yang berbagai
kelompok berusaha merebutnya.
3.
Akibat tipikal dari
pertentangan ini ada-lah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan
secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
4.
Pola-pola sosial dasar
suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang
secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5.
Konflik dan
pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan
kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial.
6.
Karena konflik dan
pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial,
menjadi hal yang umum dan sering terjadi.
Berikutnya Stephen K. Sanderson ,"menjelaskan bahwa strategi konflik
Marxian secara esensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idealis.
Hal ini tidak mengherankan karena kenyataan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan
gagasan teoritis yang bersifat materialis ketimbang idealis Materialistis dan
konflik ini. Pada teoritis konflik Marxian memandang konflik sosial muncul
terutama karena adanya upaya untuk memperoleh akses kepada kondisi-kondisi
material yang menopang kehidupan sosial; dan mereka melihat kedua fenomena ini
sebagai determinan krusial bagi pola-pola sosial dasar suatu mayarakat.
Sementara itu menurut R. Collins (Stephen K' Sanderson' 1993: 13), dalam teorinya Weber percaya bahwa
konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi
material. Weber mengakui bahwa konflik dalam merebutkan sumber daya ekonomi
merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa banyak
tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi di antara berbagai tipe tersebut.
Weber menekankan dua tipe. Dia menganggap konflik dalam arena politik
sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar
tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh
sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak
menganggap pertentangan untuk- memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya, Weber
melihat dalam kadar tertentu sebagai tuiuan pertentangan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi.
Sebaliknya Weber, melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan
itu sendiri, ia berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah
terbatas hanya pada organisasi-organtsasi politik formal, tetapi juga terjadi
dalam setiap tipe kelornpok seperti organisasi keagamaan dan pendidikan. Tipe konflik kedua
yang sering kali ditekan oleh weber adalah konflik dalam hal gagasan dan
cita-cita. ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh
dominasi dalam hal pandangan dunil mereka baik itu berupa doktrin keagamaan,
filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup cultural yang
terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan;
tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnyamisalnya
pertentangan politik.
Jika kita urut perbedaan antara Marx Weber dan Karl Marx dalam hal
menyangkut kemungkinan untuk memecahkan konflik dasar dalam masyarakat masa
depan, dengan teori mereka di atas, maka terlihat sebagai berikut:
1.
Marx berpendapat bahwa
karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap
kekuatan-kekuatan produksi, sekali kekuatan-kekuatan ini dikembalikan kepada
kontrol seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut akan dapat dihapuskan. Jadi
sekali kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan
terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.
2.
Weber memiliki
pandangan yang jauh pesimistik. la percaya bahwa pertentangan merupakan salah
satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangkan.
Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe
lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber
daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan sosial adalahciri
permanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun tentu saja akan
mengambil bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara substansial
sangat bervarisi.
Tokoh utama teori konflik ini setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang
ternama adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa
ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu
teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan
komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Marga M. Poloma, 1992:103) mengakui beberapa susunan
struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada
proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik,
Coser membedakan konflik yang realistis dari yang Tidak realities. Konflik yang
realities berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para
partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.
Dalam hal lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117)
mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam
hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas konflik dan
kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur
kelompok sosial, sebagai berikut:
1.
Permusuhan dalam
hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan
sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan nonrealistis lebih
sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin besar
rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga kecenderungan untuk
menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada
hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
2.
Fungsionalitas konflik.
Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang menunjukkan bahwa konflik
mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu
kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan. sebagai contoh hasil
pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik dalam
kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam
masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi
kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada,
hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan
masyarakat secara keseluruhan.
3.
Kondisi-kondisi yang
memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok menurut coser,
konflik dengan kelompok ruar akan membantu memantapkan batas-batas struktural.
sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di
dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan
hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat
mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah,
maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi, tetapi pada
agati umum dan akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.
Bila ditilik teori konflik dari Coser di atas, terlihat bahwa teori yang ia
kemukakan berbeda dengan analisis banyak kaum fungsionalis, yang memandang
bahwa konflik itu merupakan disfunggsional bagi suatu kelompok. Sedangkan Coser
memandang kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu
mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan
mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya berbentuk dan
dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok
melalui pengukuhan kembali identitaskelompok.
Coser juga menyebutkan konflik itu merupakan sumber kohesi atau
perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik,
cara bagaimana ketegangan itu ditangani dan yang terpenting tipe struktur
dimana konflik itu berkembang. Berikutnya Coser, juga menyebutkan bahwa
terdapat perbedaan antara, konflik in group dan konflik out Group antara nilai
inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran,.antara konflik yang
menghasilkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui
lembaga-lembaga savety value, yaitu salah.satu mekanisme khusus yang dapat
dipakai untuk mernpertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Begitu
pula antara konflik pada struktur jaringan longgar dan struktur berjaringan
ketat: juga Coser membedakan konflik realistis dengan non realistis.
Keseluruhan ini merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai
suatu proses sosial. Teori Coser dapat disebutkan lebih menggambarkan
fungsionalisme konflik; perspektif integrasi dan perseptif konflik bukan
merupakan skema penjelasan yang saling bersaing; keduanya adalah teori-teori
parsial yang data atau peristiwanya berhubungan dengan penjelasan teoritis yang
menyeluruh. Konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses
fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian
dari setiap system sosial yang dapat dimengerti. Ralf Dahrendorf seorang
sosiolog Jerman, sebagai tokoh utama teori konflik dan merupakan seorang
pengkritik fungsionalisme struktural yang olehnya dianggap gagal memahami
masalah perubahan. Sebagai landasan teorinya tidak menggunakan teori Simmel
seperti Coser melainkan ia membangun teorinya dengan separuh penolakan, separuh
menerima serta memodifi kasi teori sosiologis Karl Marx.
Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori
parsial, meng-gapteori itu merupakan perspektif yang dapat digunakan menganalisa fenomena
sosial. Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi
ganda, memiliki sisi konflik dan sidikit kerjasama, kemudian ia menyempurnakan
posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisis dengan
fungsionalisme struktural, dapat pula dianalisis dengan teori konflik dengan
lebih baik.
Ralf Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992 145) menggunakan teori perjuangan
kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam
masyarakat industri kontemporer. Kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana
produksi seperti yang dilakukan oleh Marx tetapi lebih merupakan pemilikan
kekuasaan yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas
dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam
pemerintahan bebas dan totaliter berada di seputar pengendalian kekuasaan.
Dahrendorf melihat kelompok-kelompok pertentangan sebagai kelompok yang lahir
dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi.
Proses ini ditempuh melalui perubahan kelompok semua menjadi kelo.mpok kepentingan
yang mampu memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai
hasil dari kepentingan-kepentingan itu dan kemudian merupakan jembatan di atas
mana perubahan sosial itu terjadi. Berbagai usaha harus diarahkan untuk
mengatur pertentangan sosial melalui institusionalisasi yang efektif dari pada
melalui penekanan pertentangan itu.
Berikutnya Dahrendorf mengemukakan teori konfliknya melalui pembahasan
tentang wewenang dan posisi yang merupakan fakta sosial. Menurut Dahrendorf
distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi
faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang
adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan
posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam mdsyarakat itulah yang
harus menjadi perhatian utama para sosiolog.
Kekuasaan dan wewenang menurut Dahrendorf (Ceorge Ritzer, 1985:31)
senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap
struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak
tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian
masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi
secara paksa. Kekuasaan itu selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan
yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling
bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata
yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara
golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan
yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang
dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan
kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu
kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan
yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan tertentu
selalu dinilai objektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu berdempetan
dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang individu
akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang
diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan
menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh
Dahrendorf disebut sebagai peranan laten. la membedakan golongan yang terlihat
konflik itu atas duatipe yaitu kelompok semu (quasi group) dan kelompok
kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para
pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk
karena munculnya kelompok kepentingan. sedangkan kelompok kedua yakni kelompok
kepentingan terbentuk dari kelompok semua yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini memiIiki struktur, organisasi, program, tujuan
serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini yang menjadi sumber nyata
timbulnya konflik dalam masyarakat; kemudian terdapat mata rantai antara
konflik dan perubahan sosial, konflik ini memimpin ke arah perubahan dan
pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlihat melakukan
tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau
konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat
radikal, begitu pula jika konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka
perubahan struktural akan lebih efektif.
Pandangan Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 134) tentang alasan
teoretis utama mengapa revolusi ala Marxis tidak terjadi, ini disebabkan karena
pertentangan yang ada cenderung diatur melalui institusionalisasi. Pengaturan
atau institusionalisasi'terbukti dari ti rnbuI nya serikat-serikat buruh yang
telah memperlancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antara buruh dan
manajemen. Melalui institusionalisasi pertentangan tersebut, setiap masyarakat
mampu mengatasi masalahmasalah baru yang timbul. Dahrendorf menyatakan bahwa
menyatakan institusionalisasi pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa
buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah.
Organisasi mengisyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan dengan
demikian menghilangkan ancaman perang gerilya bersifat permanen dan tak dapat
diperhitungkan. Pada saat yang sama hal ini membuat pengaturan pertentangan
secara sistematis dimungkinkan, organisasi adalah institusionalisasi. Di dalam
melancarkan kritik sosiologis terhadap teori Karl Marx, Dahrendorf mendukung
dan menolak beberapa pernyataan Marx.
Ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan
sarana produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf
hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan
unsur-unsur bagi kelahiran kelas; terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa
dan yang dikuasai. Dengan kata lain ada beberapa orang turut serta dalam
struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang lain tidak; beberapa
orang turut sefta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang
lain tidak Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar.
Jika ditilik bahasan Dahrendorf di atas terlihat bahwa bahasan teorinya
tentang konflik itu lebih menekankan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana
produksi; dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak
sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Kenyataan ini terlihat terulang kembali pada pandangan toeri konfliknya
berikut ini. Menurut Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan
kelas harus di Iihat sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari
struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti.
Kelompok-kelompok yang bertentangan itu sekali mereka ditetapkan sebagai
kelompok kepentingan, akan terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan
menimbulkan perubahan struktur sosial. Pertentangan antara buruh dan manajeman
yang merupakan topic permasalahan utama bagi Marx misalnya, akan terlembaga
lewat serikatserikat buruh. Pada gilirannya serikat buruh tersebut akan
terlibat dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta
ekonomi dan perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelapisan masyarakat.
Timbulnya kelas menengah baru, sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural
yang berasal dari institusionlisasi pertentangan kelas.
Menurut Margaret M. Poloma (1992: 137-138) menyebutkan bahwa Dahrendorf
menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda
dengan model dua kelas yang sederhana dari Karl Marx. Marx menggunakan seluruh
masyarakat sebagai unit analisis, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana
produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam
pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang
tidak. Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan
sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini
tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan terapi hanya pada
asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Kekayaan, status
ekonomi dan satus sosial, walaupun bukan merupakan determinan pencerminan kelas
tetapi dapat memengaruhi intensitas pertentangan. Dalam hal ini Dahrendorf
mengetengahkan proposinya yaitu, "semakin rendah korelasi ekonomi lainnya,
maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya. Dengan kata
lain kelompok-kelompok .
Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori fungsionalisme struktural
melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh normanorma, nilai-nilai
dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam
masyarakat itu hanya disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan
dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Sebenarnya antara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik
tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sebenarnya,
asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa
kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam kelompokkelompok dan
organisasi-organisasi sosial. Setiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang
sama yakni antara sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan
wewenang dengan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahannya.
Mengenai penalaran teori konflik ini dijelaskan oleh Karel J. Veeger (1992:
93-95) sebagai berikut:
1.
Kedudukan orang dalam
kelompok tidaklah sama, karena ada pihak yang bekuasa dan berwenang, dan ada
pula pihak yang tergantung.
2.
Perbedaan dalam
kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula. Yang satu
hendak berhasil dalam kedudukannya yang tinggi, mempertahankannya, memakai
kesempatan-kesempatan khusus yang berkaitan dengan jabatannya, mengontrol arus
informasi, dan mampu membalas jasa-jasa dari mereka yang setia agar mereka
lebih setia. Pihak yang satu ini cenderung mengarah kepada konservatisme.
3.
Mula-mula sebagian
kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan karenanya dapat
disebut kepentingan tersembunyi (latent interests), yang tidak akan meletuskan
aksi.
4.
Konflik akan berhasil
membawa suatu perubahan dalam strutur relasirelasi sosial, jika kondisi-kondisi
tertentu telah terpenuhi yaitu:
·
Kondisi-kondisi yang
menyangkut keorganisasian, seperti: komunikasi efektif, pengerahan dan penempatan tenaga
yang tepat, kesempatan
dan kebebasan berasosiasi. tersedianya
perintis (pendiri), pemimpin, dan ideologi.
·
Kondisi-kondisi yang
menyangkut konflik sendiri seperti: adanya mobilitas sosial, sehingga individu-individu atau keluarga-keluarga secara
realistis dapat mengharapkan dan memperjuangan perubahan sosial, mekanisme/sarana-sarana
efektif dalam menangani dan mengatur konflik sosial.
·
Akhirnya ada
kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan structural.
Secara garis
besar, tentang teori konflik yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu sebagai
berikut :
1.
Teori Konflik Mark
Teori ini muncul sebagai pengritik dari teori
struktural fungsional. Struktural fungsional lebih memandang masyarakat dari
sisi keseimbangannya. Padahal masyarakat penuh dengan ketegangan dan selalu
berpotensi melakukan konflik [5][4].
a)
Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat
berbagai bentuk pertentangan;
b)
Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai
faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi
(property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak
dan kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena berkerjanya
lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan
penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan
sosial.
c)
Bagi Mark, konflik sosial adalah
pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan asset-aset
yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik antara kelompok, dan
bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling menonjol menurut
Marx adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang barang yang
material.
d)
Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan
sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar.
e)
Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan
alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha.
f)
Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana
dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain
hanyalah menjual tenaganya.
2. Teori Konflik Ralf
Dahrendof
Ralf Dahrendof menyatakan bahwa masyarakat terbagi
dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas
yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki kewenangan
(subjeksi).
Secara garis besar pokok-pokok teori
ini adalah :
a)
Setiap kehidupan sosial berada dalam proses perubahan,
sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap
perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan
kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal maupun secara
interpersonal.
b)
Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik
didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen
yang mengisi setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring
dengan kehidupan sosial itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial.
c)
Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil
bagi pertumbuhan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut
akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan
mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya
konflik.
d)
Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi
di atas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuataan-kekuataan lain. Dominasi
kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung
simpanan benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan
meledak menjadi konflik terbuka.
3. Teori Konflik Jonathan
Turner
Turner memusatkan perhatiannya pada konflik sebagai
suatu proses dari pristiwa-pristiwa yang mengarah kepada interaksi yang
disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan Sembilan tahapa
menuju konflik terbuka. Adapun Sembilan tahap itu adalah sebagai berikut :
a)
Sistem sosial terdiri dari unit-unit
atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain.
b)
Didalam unit-unit atau
kelompok-kelompok itu terdapat ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau
sumber-sumber penghasilan.
c)
Unit-unit
atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat bagian dari
sumber-sumber penghasilan mulai
mempertanyakan legimitasi sistem tersebut.
d)
Pertanyaan atas legimitasi itu
membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi
kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.
e)
Kesadaran itu menyebabkan mereka
secra emosional terpancing untuk marah.
f)
Kemarahan tersebuut seringkali
meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisir.
g)
Keadaan yang demikian menyebabkan
mereka semakin tegang.
h)
Ketegangan yang semakin hebat
menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok
yang berkuasa.
i)
Akhirnya konflik terbuka bisa
terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan
dalam konflik sangat tergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang
bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara obyektif atau
kemampuan masing-masing pihak untuk menanggapi, mengatur, dan mengontrol
konflik itu.
4. Teori Konflik Lewis
Coser
Teori konflik yang dikemukakan oleh
Lewis Coser sering kali disebut teori fungsionalisme konflik karena ia
menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Coser mulai
dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap status
yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir
atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Meskipun definisi
tersebut mefokuskan pada adanya pertentangan, perjuangan memperoleh sumber yang
langka, yakni dimana setiap orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih dari orang lain, namun didalam menafsirkannya Coser menyatakan bahwa
konflik itu bersifat fungsional (baik) dan bersifat disfungsional (buruk) bagi
hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tidak terangkum dalam sistem
sosial sebagai suatu keseluruhan. [7][8] Salah satu
hal yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah bahwa ia
menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok. Lewis
Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik yaitu [8][9]:
a)
Konflik dapat
memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang
terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan
yang mempersatukan.
b)
Kelompok dengan kelompok lain dapat menghasilkan
solidaritas didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarkannya
kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain.
c)
Konflik juga bisa menyebabkan
anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif.
5. Teori Konflik C.
Wright Mills
Teori konflik C. Wright Mills. Mills
adalah salah satu sosiolog Amerika yang berusaha menggabunkan perspektif
konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial [9][10].
Jadi dari beberapa
teori konflik di atas dapat di ambil kesimpulannya, teori konflik yaitu
elemen-elemen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka
berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna meperoleh kepentingan
yang sebesar-besarnya. Menurut karl Marx konflik merupakan salah satu kenyataan
sosial yang bisa di temukan diman-mana, sedangkan menurut Ralf Dahendorf
masyarakat mempunyai dua wajah yakni konflik dan konsensus, kemudian menurut
Jonathan Turner konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang
mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih,
lalu menurut Lewis Coser Ia memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi dari
konflik, dan yang terakhir menurut C. Wright Mills Ia menggabungkan perspektif
konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial.
E.
Penyebab Terjadinya Konflik
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya
sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit untuk dideskripsikan
secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Konflik dilatarbelakangi
oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Pada umumnya penyebab munculnya
konflik kepentingan sebagai akibat dari:
1.
Perbedaan
pendapat
Suatu konflik yang
terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya
benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat
tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan
sebagainya.
2.
Salah
paham
Salah paham merupakan
salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari
seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu
yang lain.
3.
Ada pihak yang di
Rugikan
Salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain
atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau
bahkan membenci.
4.
Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu
perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin
tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak laindianggap merugikan.
Selain diatas faktor
penyebab konflik juga dapat disebabkan oleh:
a) Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian
antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya
perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian
dan perasaan..
b) Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar
belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda
itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapatmemicu
konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok manusia memiliki
perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbedaOleh sebab itu,
dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang ataukelompok memiliki
kepentingan yang berbeda- beda.
c) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik
sosial.
1.
Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah
struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama,
ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi,
seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan,
alim ulama, sopir, cendekiawan, dan lain-lain. Kemajemukan horizontal-kultural
menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik
sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan
karakteristik budayanya tersebut.
2.
Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi
bedasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan
konflik sosial karena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayan,
pendidikan yang mapan kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian
besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak
memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Kemudian secara
terperinci penyebab terjadinya konflik dapat diperjelas diantaranya:[11][12]
1.
Perbedaan anatar individu, diantaranya perbedaan
pendapat, tujuan, keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di
dalam realitas sosial tidak ada satupun individu yang memiliki karakter yang
sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya
konflik sosial.
2.
Benturan antar kepentingan baik secara ekonomi ataupun
politik.
3.
Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya
menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang
terlalu mendanak biasanya diwarnai oleh gejala dimana tatanan prilaku lama
sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang
baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman
perilaku.
4.
Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya
perasaan in group dan out group yang biasanya diikuti oleh sikap
etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa
kelompoknya adalah paling baik, ideal, beradab diantara kelompok lain. Jika
masing-masing kelompok yang ada didalam kehidupan sosial sama-sama memiliki
sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut
kebudayaan.
Dalam bukunya Husaini
Usman, menyebutkan penyebab munculnya konflik diantaranya; [12][13]
1.
Konflik diri sendiri dengan seseorang dapat terjadi
karena perbedaan peranan, pkepribadian, dan kebutuhan.
2.
Konflik diri sendiri
dengan kelompok dapat terjadi karena individu tersebut mendapat tekanan, atau
individu bersangkutan telah melanggar norma-norma kelompok sehingga dimusuhi
atau dikucilkan oleh kelompoknya.
3.
Konflik dapat terjadi karena adanya suantu ambisi
salah satu kelompok untuk berkuasa, ada kelompok yang menindas, ada kelompok
yang melanggar norma-norma budaya kelompok lainnya, ketidakadilan kelomok
lainnya, dan keserakahan kelompok lainnya.
Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu : perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan
perubahan sosial.
1.
Perbedaan antar individu
Merupakan
perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan
harga diri, kebanggan, dan identitas seseorang.
Sebagai contoh terdapat siswa yang
ingin suasana belajar tenang tetapi siswa yang lain ingin belajar sambil
bernyanyi, karena menurut siswa tersebut belajar sambil bernyanyi itu sangat
mundukung. Kemudian timbul amarah dalam siswa yang lain. Sehingga terjadi
konflik.
2.
Perbedaan Kebudayaan
Kepribadian seseorang dibentuk oleh
keluarga dan masyarakat . tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma
yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh
masyarakat lainnya.
Interaksi sosial antarindividu atau
kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah
dan benci sehingga berakibat konflik.
3.
Perbedaan Kepentingan
Setiap kelompok maupun individu
memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat
menimbulkan konflik diantara mereka.
4.
Perubahan Sosial
Perubahan yang terlalu cepat yang
terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan
norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian
antara harapan individu dengan masyarakat.
Sebagai contoh kaum muda ingin
merombak pola perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin
mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya. Maka akan timbulah konflik
diantara mereka.
F. Jenis-jenis Konflik
Menurut
Soerjono Soekanto konflik dibedakan menjadi 5 bentuk, yaitu : 1) konflik atau pertentangan pribadi, 2) konflik atau pertentangan rasial, 3) konflik atau pertentangan antar kelas-kelas sosial, 4) konflik atau pertentangan politik, dan 5) konflik atau pertentangan yang bersifat internasional
1.
Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam
diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan
tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci
yang mendalam. Perasaan ini mendorong hal tersebut untuk memaki,
menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Contoh: konflik antara suami dan istri karena masalah
keuangan.
2.
Konflik Rasial
Konflik rasial umumnya
terjadi di suatu negara yang memiliki keragraman suku dan ras. Lantas,
apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk
muka, bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras,
yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus. Sebenarnya
konflik ini bukan berasal dari perbedaan ras tapi karena adanya kesenjangan
sosial, ekonomi, politik, dan perbedaan orientasi budaya yang belum
terintegrasi secara sempurna. Contoh: konflik antara etnis Dayak
dan Madura yang terjadi di Sambas dan Sampit pada tahun 1998-1999.
3.
Konflik Antarkelas
Sosial
Terjadinya kelas-kelas
di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai (prestise), seperti kekayaan, jabatan, kehormatan, dan
kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu
kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati posisi
atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada
posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan
yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi
kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial. Contoh: konflik
antara buruh dan majikan.
4.
Konflik Politik
Konflik yang terjadi antargolongan dalam satu
masyarakat maupun antara Negara-negara yang berdaulat. Dunia perpolitikan pun
tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak
dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi
karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik yang berbeda-beda pada
saat menghadapi suatu masalah yang sama, yaitu pertentangan antara partai-partai politik untuk
memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan negara, atau gerakan untuk
mendirikan negara sendiri. Karena perbedaan inilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar. Contoh: GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) yang berkonflik dengan pemerintah RI.
5.
Konflik Bersifat
Internasional
Konflik
internasional yaitu konflik yang melibatkan beberapa kelompok negara atau antarblok. Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan kepentingan di mana
menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu
negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu
negara. Penyebab konflik ini misalnya adalah
benturan kepentingan ekonomi, politik, wilayah, dan tanah jajahan. Contoh: Perang Dunia I, Perang Dunia II.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1.
Konflik terjadi dalam
frekuensi yang tinggi dan menyita sebagianbesar kesempatan individu untuk
berinteraksi. Ini menandakan bahwa problemtidak diselesaikan secara kuat.
Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalamfrekuensi yang wajar dan
masih memungkinkan individu-individunya berinteraksisecara harmonis.
2.
Konflik diekspresikan
dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan danterjadi pembesaran konflik
baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah
individu yang terlibat. Dalam konflik yangkonstruktif isu akan tetap terfokus
dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3.
Konflik berakhir dengan
terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat.Dalam konflik yang
konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yangterlibat akan tetap
terjaga.
Menurut
Lewis A. Coser konflik dibedakan menjadi 2 yaitu :
1.
Konflik realistis berasal dari
kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem atau tuntutan yang terdapat
dalam hubungan sosial.
2.
Konflik nonrealistis adalah konflik
yang bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonis (berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan
ketegangan.
Berdasarkan
kedua bentuk konflik diatas Lewis A. Coser membedakannya lagi kedalam dua
bentuk konflik berbeda, yaitu :
1.
Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam
kelompok itu sendiri
2.
Konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara suatu kelompok dengan kelompok lain.
Berdasarkan sifatnya, konflik
dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Konflik destruktif, merupakan
konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang , rasa benci dan dendam
dari seseorang ataupun kelompok orang . Pada titik tertentu konflik ini dapat
merusak atau menghancurkan sebuah hubungan.
2.
Konflik konstruktif, merupakan
konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan
pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik
ini menghasilkan konsesus dari perbedaan pendapat menuju sebuah perbaikan.
Berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik, terdiri
dari :
1.
Konflik vertikal, konflik antar
komponen masyarakat didalam suatu struktur yang bersifat hirarkis. Contohnya konflik yang terjadi antara masyarakat dengan negara.
2.
Konflik horisontal, konflik antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar etnis, suku atau agama
3.
Konflik
diagonal, merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan aloksi
sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan ekstrim,
contoh konflik poso
Berdasarkan
sifat pelaku yang berkonflik, terdiri dari :
1.
Konflik terbuka, merupakan konflik
yang diketahui semua pihak, contoh konflik antara Israel dengan Palestina.
2.
Konflik tertutup, konflik yang hanya
diketahui oleh orang-orang atau kelompok yang terlibat konflik
Grafik Tahapan Konflik

G. Solusi dalam Penyelesaian Konflik
Setelah mengetahui penyebab terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba
berbagai alternatif teoritis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara
umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Model penyelesaian
berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini,
untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui
sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural,
kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah
untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan
keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian
konflik yang tunggal.
2.
Model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara,
yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur.
Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban
terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara
agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan
adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan
terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau
kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.
3.
Model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik.
Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap
pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah
yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang
bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses
akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk
menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan
penciptaan kepentingan bersama.
4.
Model intervensi pihak
ketiga. Dalam model ini ada
beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model
penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa
untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil
pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga
harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak
ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi
dalam masyarakat.
Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian
konflik yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain.
Namun demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki
kompleksitas yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model
untuk langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami
secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari
jalan keluarnya. Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik Selain
model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus
diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman
budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan
hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.
Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal
(local wisdom). Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di
Indonesia, bersamaan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik
yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada berbagai
diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian, penerapannya tidaklah
mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik yang
tengah berlangsung di wilayah nusantara. Jika bisa dikelola dengan baik,
konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu
perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi
dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan
benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Konflik
tidak akan terjadi apabila masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, sehingga
kerugian akibat dari konflik dapat ditekan sedemikian rupa. Ada tiga macam
bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu:
1.
Konsolidasi
Merupakan bentuk pengendalian
konflik sosial yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu
yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada
umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Lembaga parlementer
yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok kepentingan akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, biasanya
lembaga ini melakukan pertemuan untuk jalan damai. Untuk dapat berfungi dengan
baik dalam melakukan konsiliasi, maka ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu:
a.
Lembaga tersebut merupakan lembaga
yang bersifat otonom.
b.
Kebudayaan lembaga tersebut harus
bersifat monopolitis.
c.
Peran lembaga tersebut harus
mengikat kepentingan semua kelompok.
d.
Peran lembaga tersebut harus
bersifat demokratis.
2.
Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang
dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang bertikai untuk
mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu
menjadi pengendalian konflik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya
pada konflik berbau sara di Poso, dimana pemerintah menjadi mediator
menyelesaikan konflik tersebut tanpa memihak satu sama lainnya.
3.
Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang
dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk
menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan keputusan untuk
menyelesaikan konflik. Ketiga jenis pengendalian konflik ini memiliki daya
kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan
sosial dalam masyarakat.
Cara lain sebagai wujud penyelesaian
konflik yaitu dengan cara produktif dan cara non produktif.
a. Cara produktif :
1) Withdrawal
(penarikan), yaitu menunggu sambil berusaha memahami situasi, setelah kira-kira mampu dan yakin dapat
berhasil, baru melangkah untuk mengatasinya.
2) Assertif
(tegas), yaitu berusaha mengatasi secara tegas dan dengan cara yang baik, serta
berusaha membina hubungan yang baik dengan pihak lain ditandai dengan adanya
kemauan baik untuk saling mengerti dan memahami alasan, pertimbangan, dan
kepentingan pihak lain.
3) Adjusting
(menyesuaikan), yaitu berusaha menyesuaikan diri dengan pihak lain.
b.
Cara tidak
produktif :
1)
Avoidance (penghindaran), yaitu
menghindar dari konflik.
2)
Force (kekuatan, paksaan), yaitu
menggunakan kekuatan fisik, ancaman, teror, dan paksaan.
3)
Mengabaikan adanya konflik karena
menganggap konflik tersebut tidak penting.
4)
Blame (menyalahkan), yaitu
menyalahkan orang lain karena sumber konflik tidak jelas.
5)
Silencers (peredam), yaitu bersikap
supaya orang lain diam dengan cara menangis, menggunakan kata sarkasme yang
menyinggung masalah pribadi.
Cara-cara lainnya dalam menyelesaikan
konflik dalam bentuk akomodasi, diantaranya sebagai
berikut :
1.
majority rule : keputusan
yang diambil berdasarkan suara terbanyak dalam voting. Contoh : Ketika para
siswa hendak mengadakan widyawisata, terjadilah perbedaan dalam menentukan
objek. Untuk mencapai kata mufakat diadakan voting.
2.
conciliation
(konsiliasi) : mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk membuat
kesepakatan bersama.
3.
stalemate : berhenti
pada titik tertentu karena kekuatan seimbang.
4.
elimination :
pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
5.
integration : mempertimbangkan
kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua
pihak.
6.
arbitrasi :
mengundang pihak ketiga yang memberikan keputusan. Keputusan mengikat pihak
yang konflik. Contoh : Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan tentang sah
atau tidaknya suatu pasal dalam undang-undang yang menjadi sengketa di antara
lembaga-lembaga negara.
7.
mediasi :
mengundang pihak ketiga untuk memberikan nasihat.
8.
kompromi :
mengurangi tuntutan.
9.
toleransi :
menghargai perbedaan.
10.
koersi : paksaan.
H. Upaya Pemerintah Indonesia
dalam Penanganan Konflik
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP No. 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Jokowidodo pada tanggal 2 Februari 2015, yang diharapkan dapat melindungi dan memberikan rasa aman
bagi masyarakat secara optimal serta penanganan konflik sosial secara
komprehensif, terkoordinasi, dan terintegrasi.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang peraturan pelaksanaan penanganan konflik
sosial ini mengatur ketentuan mengenai pencegahan konflik, tindakan darurat
penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan dan kekuatan TNI,
pemulihan pascakonflik, peran serta masyarakat, pendanaan penanganan konflik,
dan monitoring dan evaluasi.
Melalui peraturan ini, pemerintah dan pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk melaksanakan pencegahan konflik melalui penyelenggaraan
kegiatan :
1.
Penguatan kerukunan
umat beragama;
2.
peningkatan forum
kerukunan masyarakat;
3.
peningkatan kesadaran
hukum
4.
pendidikan bela negara
dan wawasan kebangsaan;
5.
sosialisasi peraturan
perundang-undangan;
6.
pendidikan dan
pelatihan perdamaian;
7.
pendidikan
kewarganegaraan;
8.
pendidikan budi
pekerti;
9.
penelitian dan pemetaan
wilayah potensi Konflik dan/atau daerah Konflik;
10. penguatan kelembagaan dalam rangka sistem peringatan dini;
11. pembinaan kewilayahan;
12. pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai integrasi kebangsaan;
13. penguatan/pengembangan kapasitas (capacity building);
14. pengetasan kemiskinan;
15. desa berketahanan sosial;
16. penguatan akses kearifan lokal;
17. penguatan keserasian sosial; dan
18. bentuk kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Selain itu dalam melakukan pencegahan konflik, pemerintah dan pemerintah
daerah harus mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui
musyawarah mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat seperti tokoh agama,
tokoh adat dan atau unsur masyarakat lainnya termasuk pranata adat dan pranata
sosial, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 Ayat 1 dan 2 pada PP
tersebut.
Adapun tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban yang dilakukan
pemerintah dan pemerintah daerah itu di antaranya meliputi sejumlah tindakan.
Yakni diantaranya :
a.
Penyelamatan, evakuasi,
dan identifikasi korban konflik;
b.
Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik;
c.
Pemenuhan kebutuhan
dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok
orang yang berkebutuhan khusus;
d.
Perlindungan terhadap kelompok
rentan;
e.
Sterilisasi tempat yang
rawan konflik;
f.
Penegakan hukum; dan
g.
Penyelamatan harta
benda korban.
PP ini pun mengatur keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial.
Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI untuk penghentian konflik dilaksanakan
setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh pemerintah daerah atau
pemerintah. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan untuk
menghentikan kekerasan fisik, melaksanakan pembatasan dan penutupan kawasan
konflik untuk sementara waktu.
Adapun upaya
pemulihan pascakonflik berdasarkan peraturan
tersebut, akan dilakukan dengan cara : a) Rekonsiliasi; b)
Rehabilitasi; dan c)
Rekonstruksi.
I.
Dampak
Sebuah Konflik
Dampak
sebuah konflik memiliki 2 sisi yang berbeda yaitu dilihat dari segi positif dan
dari segi negatif.
1.
Segi positif dari konflik adalah
sebagai berikut:
a.
Konflik dapat memperjelas
aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih belum tuntas di telaah.
b.
Konflik memungkinkan adanya
penyesuaian kembali norma-norma, nila-nilai, serta hubungan-hubungan sosial
dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu atau kelompok.
c.
Konflik meningkatkan solidaritas
sesama anggota kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
d.
Konflik merupakan jalan untuk mengurangi
ketergantungan antarindividu dan kelompok.
e.
Konflik dapat membantu menghidupkan
kembali norma-norma lama dan menciptakan norma baru.
f.
Konflik dapat berfungsi sebagai
sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
masyarakat.
g.
Konflik memunculkan sebuah kompromi
baru apabila pihak yang berkonflik berada dalam kekuatan yang seimbang.
2.
Segi negatif dari konflik adalah sebagai berikut :
a.
Keretakan hubungan antarindividu dan
persatuan kelompok.
b.
Kerusakan harta benda dan hilangnya nyawa
manusia.
c.
Berubahnya kepribadian para
individu.
d.
Munculnya dominasi kelompok pemenang
atas kelompok yang kalah.
BAB III
KONFLIK SOSIAL DI SEKOLAH
A.
Pengertian Konflik Sosial
Sebagai
makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dalam
berin-teraksi, setidaknya diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Secara
awam konflik sering diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan
pertentangan (Kamus besar Bahasa Indonesia (2002). Dalam arti yang lain konflik
biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide,
pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan
ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya
berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa
berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah
yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).
Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Sebagai contoh Tawuran antar pelajar. Fenomena ini termasuk dalam kategori
konflik. Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera
mem-pengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak pertama.
Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah
satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins, 1996). Tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Dan, ia dapat terjadi karena hubungan antara
dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa
memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan (Fisher, dalam Saputro, 2003).
Masalah
sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat, yang membahayakan kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya
keinginan-keinginan pokok anggota kelompok sosial tersebut sehingga terjadi
kepincangan sosial. Sedangkan jenis-jenis masalah sosial remaja adalah :
1.
Siswa tidak toleran dan bersikap
superior.
2.
Kaku dalam bergaul.
3.
Peniruan buta terhadap teman sebaya.
4.
Kontrol orang tua.
5.
Perasaan yang tidak jelas terhadap
dirinya atau orang lain.
6.
Kurang dapat mengendalikan diri dari
rasa marah dan sikap permusuhannya.
Bahaya yang
umum dari ketidakmampuan penyesuaian diri siswa dengan lingkungan kelompok
sosialnya dilihat sebagai berikut:
1.
Tidak bertanggung jawab, tampak
dalam perilaku mengabaikan pelajaran, misalnya, untuk bersenang-senang dan
mendapatkan dukungan sosial.
2.
Sikap yang sangat agresif dan sangat
yakin pada diri sendiri.
3.
Perasaan tidak aman, yang
menyebabkan siswa patuh mengikuti standar-standar kelompok.
4.
Perasaan menyerah.
5.
Terlalu banyak berkhayal untuk
mengimbangi ketidakpuasan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
6.
Mundur ketingkat perilaku yang
sebelumnya agar supaya disenangi dan diperhatikan.
Bahaya yang
akan di hadapi siswa karena ketidakmampuannya dalam penyesuaian diri dengan
lingkungan sosialnya tidak hanya mengabaikan pelajarannya tapi mungkin siswa
bisa melupakan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya seperti mencapai
kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mencapai
kematangan pertumbuhan jasmaniah yang sehat, mengembangkan penguasan ilmu,
teknologi dan seni sesuai dengan program kurikulum dan persiapan karir atau
melanjutkan pendidikan tinggi, serta berperan dalam kehidupan masyarakat yang
lebih luas dan mencapai kematangan dalam pilihan karir.
1.
Faktor yang mempengaruhi konflik
sosial di sekolah
Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya konflik sosial di sekolah, dapat kita lihat dari kondisi-kondisi
yang menyebabkan diterima atau tidaknya siswa dalam kelompok sosial,
yaitu sebagai berikut:
a)
Kesan pertama yang kurang baik
karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap yang menjauhkan diri,
yang mementingkan diri sendiri.
b)
Terkenal sebagai orang yang tidak
sportif.
c)
Penampilan yang tidak sesuai dengan
standar kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapian.
d)
Perilaku sosial yang ditandai oleh
perilaku menonjolkan diri, menggagngu dan menggertak orang lain, senang
memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana.
e)
Kurangnya kematangan, terutama
kelihatan dalam hal pengendalia emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan
kebijaksanaa.
f)
Sifat-sifat kepribadian yang
mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah,
dan mudah marah.
g)
Status sosio-ekonomis di bawah status sosio-ekonomis
kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-angota keluarga.
h)
Tempat tinggal yang terpencil dari
kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok
karena tanggung jawab keluarga atau karena bekerja sambilan.
Selain dari
kondisi-kondisi yang menyebabkan diterima atau tidaknya siswa dalam
kelompok sosial, faktor yang lain dapat juga dilihat dari kondisi-kondisi yang
mempengaruhi konsep diri siswa, sebagai berikut:
1.
Usia kematangan. Remaja
kematangan lebih awal, yang diperlakuka seperti orang yang hampir dewasa,
mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak,
merasa salah dimengerti dan bernasib kurang kurang baik sehingga cenderung
berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
2.
Penampilan diri, Penampilan
diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada
menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan
yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik
menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah
dukungan sosial.
3.
Nama dan julukan, Remaja
peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau
bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
4.
Hubungan keluarga, Seorang
remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan
mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola
kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk
jenis seksnya.
5.
Teman-teman sebaya, Teman-teman
mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri
remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang
dirinya dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri
kepribadian yang diakui oleh kelompok.
B.
Pengertian Sekolah
Pengertian sekolah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah
merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat
menerima dan memberi pelajaran.
Sebagaimana yang telah
kita ketahui bahwa sekolah merupakan salah satu tempat bagi para siswa untuk
menuntut ilmu. Dan melihat kenyatannya hingga sekarang sekolah masih dipercaya
oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai salah satu tempat untuk belajar,
berlatih kecakapan, menyerap pendidikan atau tempat proses mendewasakan anak.
Sekolah merupakan
bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberi pelajaran. Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah. Kepala Sekolah
dibantu oleh wakil kepala sekolah. Jumlah wakil kepala sekolah di setiap
sekolah berbeda, tergantung dengan kebutuhannya. Bangunan sekolah disusun
meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengan
fasilitas lain.
C. Permasalahan dalam Dunia Pendidikan
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan
diantaranya sebagai berikut :
1. Kekerasan
Kekerasan dalam institusi pendidikan
dapat terjadi ketika komunitas pendidikan di dalam sekolah dalam hubungan
sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena setiap individu memiliki kecenderungan
kepribadian masing-masing, memiliki latar belakang budaya, agama, masing-masing
dan tidak selalu interaksi yang dilakukan menyenangkan[13][2].
Kekerasan atau intimidasi sudah
sering menjadi kasus dalam suatu sekolah. Intimidasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh siswa
namun juga melibatkan warga sekolah yang lain, seperti: a) intimidasi siswa
kepada siswa lain, b) intimidasi guru kepada siswa, sesama guru dan orang tua, c)
intimidasi karyawan pada guru dan siswa, d) intimidasi kepala sekolah pada
guru, karyawan, siswa, dan orag tua, serta e) intimidasi orang tua pada guru,
karyawan sekolah, kepala sekolah dan anak-anak mereka.
Kekerasan dalam sekolah sudah
terjadi semenjak siswa tersebut masuk dalam sekolah. Biasanya terjadi pada saat
MOS( masa orientasi siswa). Dalam MOS tersebut banyak senior yang
mengintimidasi siswa baru dan kebanyakan dengan tindakan kekerasan sehingga
bnayak menimbulkan korban karena tidak hanya menyakiti fisik saja namun juga
mentalnya, bahkan pada beberapa sekolah hingga terdapat siswa yang meninggal
dunia.
Solusi dari tindak kekerasan
tersebut adalah dengan membangun lembaga swadaya pendidikan bagi siswa yang
tetangkap karena perilaku kekerasan. Dalam lembaga tersebut menekankan pada
latihan fisik dengna pendekatan klasikal. Atau dengan metode ceramah tentang
perilaku yang baik[14][3].
2. Putus Sekolah
Putus sekolah merupakan predikat
bagi peserta didik yang tidak mampu menamatkan pendidikannya pada jenjang
tertentu sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya[15][4].
Beberapa faktor yang melatar
belakangi seorang anak putus sekolah yaitu:
a.
Ekonomi, biasanya seorang anak dari
keluarga yang kurang mampu menjadi putus sekolah krena ketidakmampuan orang tua
dalam membiayai pendidikan anaknya sehingga mereka terpaksa harus putus
sekolah.
b.
Konflik, seorang siswa mungkin
meresa tidak nyaman dengan teman sebayanya atau seniornya karena suatu konflik
di sekolah tersebut, misalnya mereka mempunyai musuh atau melakukan perbuatan
yang melanggar aturan disekolah.
c.
Tindakan kriminal, misalnya seorang
siswa yang berurusan dengan pihak yang berwajib karena melakukan tindakan
kriminal sehingga berdampak pada pendidikannya sehingga siswa tersebut putus
sekolah atau bahkan dikeluarkan dari sekolah.
d.
Akses yang sulit, biasanya hal ini
terjadi peada daerah terpencil dimana seorang siswa harus menempuh jarak yang
jauh dan medan yang sulit untuk mencapai sekolahnya sehingga banyak diantra
mereka yang memilih untuk tidak bersekolah lagi.
e.
Bencana Alam, faktor alam juga
mempengruhi seorang anak putus sekolah. Misalnya terjasi gempa bumi, banjir,
gunung meletus, tsunami yang dapat menghancurkan sekolah mereka sehingga mereka
mennjadi putus sekolah.
Solusi dari kasus ini adalah dengan cara :
Langkah preventiv, yaitu dengan
membekali peserta didik dengan keterampilan-keterampilan yang praktis dan
bermanfaatsejak dini.
a.
Langkah pembinaan, yaitu dengan
membekali peserta didik dengan pengetahuan-pengetahuan perkembangan zaman
melalui lembaga sosial.
b.
Langkah
tindak lanjut, yaitu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka
untuk lebih maju dan berkehidupan yang lebih baik dalam masyarakat [16][5].
3. Kenakalan Remaja
Menurut Prof. Dr. Fuad Hasan bahwa
kenakalan remaja yaitu perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak atau
remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dinamakan tindak kejahatan
[17][6].
Beberapa contoh kenakalan remaja, diantaranya sebagai berikut :
a.
Ngebut, yaitu mengendarai kendaraan
bermotor dengan melampaui batas maksimal sehingga mengganggu dan membahayakan
pengendara yang lain.
b.
Peredaran pornografi dikalangan
pelajar
c.
Anak yang
suka merusak barang orang lain
d.
Membentuk geng dengan norma yang
menyeramkan
e.
Berpakaian dengan mode yang tidak
selaras dengna lingkungan serta tidak enak dipandang
Beberapa penyebab kenakalan remaja, yaitu :
a.
Lingkungan keluarga yang tidak
harmonis, sehingga seorang anak kurang perhatian dan kasih sayang dan
menyalurkan kekecewaan tersebut dengan mencari kegiatan yang negatif diluar
keluarganya.
b.
Situasi, keadaan rumah tangga,
sekolah dan lingkungan yang menjemuhkan dan membosankan yang seharusnya
menyengakan.
c.
Lingkungan masyarakat yang kurang
menentu bagi prospek kehidupan mendatang. Seperti lingkungan korupsi,
manipulasi.
Kebijakan yang digunakan untuk
mengatasi kenakalan remaja tersebut adalah dengan:
a.
Menciptakan suasana keluarga yang
harmonis dan penuh kasih sayang sejak dini.
b.
Disekolah, hendaknya kultur atau
budaya, kritis, akademis, serta kreatif dibina dengan maksimal agar terbentuk kestabilan
emosi sehingga tidak mudah mengguncang dan menimbulkan akses-akses yang
mengarah pada perbuatan yang berbahaya serta bersifat kenakalan.
c.
Lingkungan, sebaiknya semua lapisan
masyarakat serta tokoh-tokoh masyarakat seperti pemuka agama, pemerintah
daerah, penguasa setempat, penegak hukum, tenaga medis, pendidik, psikiater,
organisasi sosial, dan sebagainya secara padu mengambil andil dalam
terbentuknya masyarakat yang lebih terprogram[18][7].
4.
Munculnya Kelompok-Kelompok atau Geng
Geng merupakan salah satu dari
kelompok sosial yang dapat tercipta dalam lingkungan sekolah hal ini dapat
terjadi disebabkan karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang
tidak mungkin dapat hidup sendiri di dunia. Terlebih lagi Sekolah Menengah Atas
yang muridnya merupakan remaja yang secara psikologi kemampuan berpikir mereka
sedang berkembang, memperluas pergaulan sesama siswa dan berpaling kepada teman
sebaya yang lebih mengerti kondisi emosi kita. sehingga tidak menerima lagi
masukan orang tua secara mentah-mentah .dan sekolah merupakan tempat kedua
mereka setelah dirumah karena sebagian waktu mereka dalam sehari mereka
habiskan di sekolah. jadi sangat memungkinkan sekolah menjadi sarana untuk hal
tersebut.
Faktor penyebab munculnya geng pelajar
di sekolah antaralain sebagai berikut :
a.
Pengawasan kegiatan anak setelah
kegiatan di sekolah yang masih kurang.
b.
Kurangnya
kegiatan di luar akademik yang sesuai dengan bakat dan minat remaja.
c.
Peraturan yang kadang membuat siswa
bosan dan memilih hal-hal yang menghindar dari peraturan tersebut.
d.
Munculnya orang-orang di luar
lingkungan pendidikan yang mempengaruhi dengan memberikan
pengetahuan-pengetahuan negatif sehingga terbentuk geng.
e.
Pencarian jati diri untuk
menunjukkan kekuatan dan kekuasaan.
5.
Fenomena Tawuran Antar Pelajar
Tawuran antar pelajar mungkin sudah
menjadi hal yang biasa belakangan ini. Media masa selalu memberitakan tentang
fenomena yang terjadi diantara para remaja yang masih menempuh pendidikan.
Waktu yang seharusnya mereka lakukan untuk belajar justru mereka gunakan untuk
saling menyerang satu sama lain. Tawuran antar pelajar ini semakin menjadi
semenjak dibentuknya geng-geng, rasa persahabatan yang kuat membuat mereka
merasa bagaikan satu tubuh. Apabila ada anggota yang mendapat masalah, maka
seluruh anggota akan ikut turun tangan untuk menyelesaikannya. Yang menjadi
masalah adalah emosi yang belum stabil pada usia mereka. Masalah yang semula
kecil bisa berakibat fatal karena dihadapi dengan penuh emosi.
Penyebab terjadinya tawuran antar
pelajar antara lain:
a.
Sebab terkecil yang melatar
belakangi tawuran yaitu saling ejek satu sama lain, hingga kemudian diantara
mereka ada yang tidak terima lalu mereka menyerang kubu yang lain.
b.
Dendamnya seorang siswa, hingga ia
berusaha untuk membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang
dianggap telah merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah.
c.
Tingkat kestresan dalam menghadapi
materi pelajaran. Seperti yang diketahui bahwa materi pelajaran yang ada di
sekolah cukup bannyak dan berat. Akhirnya stress yang mereka alami itu mereka
tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
d.
Factor lain adalah lemahnya
pemahaman tentang agama serta aplikasinya. Mereka tidak tertarik dengan hal
keagamaan, sehingga pemahaman mereka kurang. Selain itu, mereka tidak diajarkan
untuk aktik mempraktekkan materi yang mereka dapat. Mereka hanya mengetahui
teori dan lemah dalam hal praktek.
D.
Peran Pendidikan dalam Mengatasi Konflik Sosial
Pendidikan
dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek
kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya (kognitif), nilai dan sikapnya
(afektif), serta keterampilannya (psikomotorik). Dalam hal ini pendidikan
bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan sama
sekali bukan untuk merusak kepribadian manusia.
Pendidikan
pada hakikatnya akan mencakup 3 dasar pendidikan (tri dharma pendidikan) yakni,
pertama kegiatan mendidik dan mengajar, kedua kegiatan penelitian dan ketiga
pengabdian pada masyarakat. Istilah mendidik dan mengajar menunjukkan usaha
yang lebih ditujukan pada pembentukan watak dalam mengembangkan budi pekerti
hati nurani kecintaan, rasa kesusilaan dan lain-lain serta memberi ilmu yang
bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia. Kegiatan penelitian
merupakan aplikasi dari pengetahuan yang didapat peserta didik untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungannya sehingga akan
terjadi sesuatu pembiasaan dalam bertindak. Pengabdian dalam masyarakat adalah
hal yang paling penting dalam transformasi nilai pendidikan sehingga pendidikan
bisa berfungsi untuk menyelesaikan persoalan hidup bagi masyaraka yang lebih
baik.
Pendidikan
sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik social dalam kelas, trutama peran
seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing sangat dibutuhkan
dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah sosial siswa,
diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa yang
mengalami masalah sosial.
Untuk mendapatkan
solusi secara tepat atas permasalahan sosialnya, guru harus terlebih dahulu
melakukan identifikasi dalam upaya mengenali gejala-gejala secara cermat
terhadap fenomena-fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya permasalahan
sosial yang melanda siswa. Diagnosis dilakukan untuk mengetahui dan menetapkan
jenis masalah yang dihadapi klien lalu menentukan jenis bimbingan yang akan
diberikan. Dalam melakukan diagnostik masalah sosial siswa perlu ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Mengenal peserta didik yang
mengalami masalah sosial
Dalam mengenali peserta didik yang
mengalami masalah sosial, cara yang paling mudah adalah dengan melaksanakan
sosiometri. Sosiometri merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data terntang
pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam suatu kelompok.
Sehingga, akan tergambar siswa yang mengalami masalah sosial.
2.
Memahami sifat dan jenis masalah
sosial
Langkah kedua dari diagnosis masalah
sosial ini mencari dalam hubungan apa saja peserta didik mengalami masalah
sosial. Dalam hal ini guru pembimbing memperhatikan bagaimana perilaku siswa
dalam pergaulan, baik di sekolah, rumah dan masyarakat.
3.
Menetapkan latar belakang masalah
sosial
Langkah ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran tentang latar belakang yang menjadi sebab timbulnya masalah
sosial yang dialami siswa. Cara ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku
siswa yang bersangkutan, selanjutnya dilakukan wawancara dengan guru, wali
kelas, orang tua dan pihak-pihak lain yang dapat memberikan informasi yang luas
dan jelas.
4.
Menetapkan
usaha-usaha bantuan
Setelah diketahui sifat dan jenis
masalah sosial serta latar belakangnya, maka langkah selanjutnya ialah
menetapkan beberapa kemungkinan tindakan-tindakan usaha bantuan yang akan
diberikan, berdasarkan data yang diperoleh.
5.
Pelaksanaan bantuan
Langkah ini merupakan pelaksanaan
dari langkah sebelumnya, yakni melaksanakan kemungkinan usaha bantuan.
Pemberian bantuan dilaksanakan secara terus menerus dan terarah dengan disertai
penilaian yang tepat sampai pada saat yang diperkirakan. Bantuan untuk
mengentaskan masalah sosial terutama menekankan akan penerimaan sosial dengan
mengurangi hambatan-hambatan yang menjadi latar belakangnya. Pemberian bantuan
ini bisa dilakukan melalui layanan konseling kelompok yang memanfaatkan
dinamikan kelompok.
6.
Tindak lanjut
Tujuan langkah ini ialah untuk
menilai sejauh manakah tindakan pemberian bantuan telah mencapai bantuan telah
mencapai hasil yang diharapkan. Tindak lanjut dilakukan secara terus menerus,
baik selama, maupun sesudah pemberian bantuan. Dengan langkah ini dapat
diketahui keberhasilannya.
Bila
kelompok menunjukkan agresif atau permusuhan, langkah pertama yang harus
diambil oleh guru adalah menganalisa situasi. Setelah tahu akar permasalahanya,
yang terpenting adalah segera mencari solusi. Dalam hal
ini semua pihak harus ikut berperan, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan
pemerintah.
1.
Peranan keluarga dalam penyelesaian
masalah ini.
a.
Pendidikan yang mendasar di mulai di
rumah. Orang tua harus
aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik sebaiknya juga harus diubah. Orangtua
tidak seharusnya mendikte anak, namun memberi keteladanan.
b.
Selain itu, tidak mengekang anak
untuk melakukan sesuatu dan biarkan mereka berekspresi selama masih dalam batas
yang wajar.
c.
Menghindari kekerasan dalam rumah
tangga sehingga tercipta kondisi rumah yang nyaman dan kondusif. Yang tidak
kalah penting adalah membatasi anak-anak dalam melihat tayangan televisi yang
mengandung unsur kekerasan. Orangtua harus pandai memilih tontonan yang positif
bagi anak sehingga dapat dijadikan teladan. Membatasi anak usia remaja memang
lebih sulit, karena setiap informasi dapat mereka akses dari manapun.
d.
Penanaman nilai-nilai keagamaan
semenjak dini perlu dilakukan, sehingga anak akan dapat membentengi diri mereka
dari hal negative apabila tidak berada dilingkunagn keluarga.
2.
Peranan sekolah sangat penting dalam
penyelesaian masalah ini.
a.
Untuk meminimalkan konflik, sekolah
harus membuat tata tertib yang ketat agar siswa bisa lebih disiplin.
b.
Selain itu juga diperlukan peran BK
dalam pembinaan mental siswa. BK membantu menemukan solusi bagi siswa yang
mendapat masalah. Sehingga hal-hal yang dapat memicu terjadinya konflik dapat
dicegah.
c.
Mengkondisikan suasana yang ramah
dan penuh kasih sayang. Guru tidak hanya berperan sebagai penyalur pengetahuan,
namun juga berperan sebagai orangtua yakni mendidik.
d.
Menyediakan fasilitas untuk
menyalurkan energy siswa. Contohnya meyediakan kegiatan ekstrakurikuler bagi
siswa. Pada usia remaja energy mereka tinggi, sehingga perludisalurkan lewat
kegiatan yang positif sehingga tidak mengarah pada hal yang merugikan.
3.
Peranan masyarakat dalam
penyelesaian masalah.
a.
Masyarakat memberikan ruang bagi
remaja untuk berekspresi.
b.
Mengapresiasi tindakan-tindakan
positif yang dilakukan remaja.
c.
Memberikan keteladanan diluar
lingkup keluarga.
4.
Peranan pemerintah dalam
penyelesaian masalah.
a.
Dalam penyeleggaraan kegiatan
ekstrakulikuler di sekolah membutuhkan dana. Sehingga pemerintah harus
memberikan subsidi untuk meningkatkan sarana dan prasrana kegiatan tersebut.
b.
Pemerintah harus tegas menerapkan
sanksi hukuman. Memberikan efek jera pada siswa yang melanggar peraturan,
sehingga ia akan berfikir berkali-kali untuk mengulangi hal yang sama. Apabila
melihat sanksi yang tegas, maka orang lain pun akan segan untuk menirunya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran mengenai Pendidikan dan Konflik Sosial di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
2. Tokoh utama teori konflik setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama
adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli
sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori
kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya
pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.
3.
Teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik
tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sosiolog
yang baik adalah memadukan kedua pendekatan ini untuk menelaah kehidupan
sosial; dengan berbuat.demikian ia akan memperoleh suatu gambaran yang lebih
lengkap tentang kondisi suatu masyarakat. Sebenarnya, asal struktural konflik
sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang
berlaku di dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi sosial.
4.
Konflik dilatarbelakangi
oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
5. Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa
dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif.
Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas
keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan
lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik
tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan
merugikan bagi masyarakat.
6. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
7.
Pemerintah telah
menerbitkan PP No. 2
Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan
tersebut diharapkan dapat melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat
secara optimal serta penanganan konflik sosial secara komprehensif,
terkoordinasi, dan terintegrasi.
8.
Pendidikan sangat berpengaruh dalam
mengatasai suatu konflik sosial dalam
kelas, trutama peran seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing
sangat dibutuhkan dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah
sosial siswa, diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa
yang mengalami masalah sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard Raho. Teori sosiologi modern. Kota:
Prestasi Pustaka, 2007.
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana, 2011.
Dewi Wulansari. Sosiologi dan Konsep Teori. PT
Refika Aditama, 2009.
Depdiknas. Model Penyelenggaraan Sekolah
Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
2011.
Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana, 2011.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2005.
Husaini
Usman. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara, 2006.
Irving
M. Zeitlin. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: UGM Pres, 1998.
Johnson, Lois V. ikhtisar oleh Made pidarta. Pengelolaan Kelas.
Surabaya: Usaha Nasional, 2003.
Muhammad
Rifa’i. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Salinan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia.
Salinan Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 Tentang
Penanganan Konflik Sosial
Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik
Sosial
Soerdjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Syamsu Yusuf. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, Bandung: Rosda Karya, 2004.
Zainudin Maliki. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press, 2008.
http://www.scribd.com/doc/83919778/Teori-Konflik-Makalah-Jadi-Betty
http://zempat.blogspot.com/2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-
http://alpangeano.wordpress.com/2011/11/03/penanganan-kasus-terhadap-sisawa-yang-mengalami-masalah-sosial/
[12][13] Husaini
Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), hal. 389.
[13][2] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi
sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 189.
[14][3] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi
sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 190.
[15][4] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi
sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 201.
[16][5] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi
sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 203.
[17][6] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi
sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal
2016.
[18][7] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi
sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 224.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar