Jumat, 27 Mei 2016

Pendidikan dan Konflik Sosial



PENDIDIKAN DAN KONFLIK SOSIAL
OLEH : AJAT ZATNIKA

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah social dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.
Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik. Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan hidup. Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan masalah yang suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar kacau. Untuk itu dibutuhkan suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Siswa sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian mereka selalu melakukan interaksi sosial. Untuk mencapai kematangan tersebut, siswa memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungan sosialnya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan siswa tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku siswa, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi, sosial atau penyimpangan perilaku.
Siswa pada masa kini dalam hubungan sosialnya lebih cenderung suka membuat sebuah “geng” dan masih suka mencari sosok yang diidolakan, bahkan ada yang lebih membahayakan lagi yakni ikut terlibat dalam tawuran. Terkait dengan masalah hubungan sosial yang dihadapi siswa diperlukan satu pendidikan, yang mana pendidikan tersebut diharapkan dapat mengatasi suatu permasalahan sosial tersebut.
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja. Di dalam dunia pendidikan sekolahpun permasalahan seperti konflik juga sering terjadi dikarenakan adanya perbedaan status sosial yang dibawa dari kebudayaannya. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial  merupakan gejala yang selalu mengisi  setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan soial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan, dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa di antaranya ada yang dapat, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan di dalam lembaga dapat terjadi karena di dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masing-masing dari latar belakangnya [1][1]. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai konflik di dalam suatu lembaga terutama pokok pembahasan kali ini yaitu pada bidang pendidikan yang memfokuskan konflik sosial di sekolah, maka perlu adanya pendukung-pendukung seperti landasan teori tentang konflik itu sendiri, maka dalam bab yang akan pemakalah sajikan yaitu konflik sosial di sekolah yang dilandasi oleh beberapa teori konflik.
Ketika kita membicarakan konflik sosial masyarakat, kita akan langsung dihadapkan pada kompleksnya konflik yang terjadi dalam masyarakat, terutama dalam konteks ini masyarakat Indonesia sendiri, mulai dari konflik dalam politik, krisi pangan, kekerasan, pluralitas agama sampai seporter sepak bola. Konflik seperti ini memang sudah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah, apalagi Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi, politik, dan agama yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada waktu itu pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu (Tilaar, 2004: 123).
Dalam ruang lingkup konflik sosial secara universal, konflik pasti terjadi pada setiap kelompok masyarakat, organisasi, instansi-instansi, pluralitas keagamaan dan sebagainya. Dalam makalah singkat ini penulis sedikit banyak mencoba mengaja para pembaca dan anggota diskusi kelas untuk membicarakan dan membahas lebih jauh dan konferhensif tentang peran pendidikan dalam mengatasi konflik social dalam pluralits keagaan, disamping juga akan disinggung tentang konflik social di sekolah dan juga dalam masyarakat secara umum.
Sebagai suatu wadah pengembangan kretivitas dan imajinasi para peserta didik, pendidikan harus berupaya menanamkan jiwa-jiwa sosialis kepada peserta didik, sebagai bekal para peserta didik dalam menghadapi kompleknya konflik yang terjadi dalam masyarakat era saat ini (kontemporer). Suatau keadaan yang sangat miris jika sebuah lembaga pendidikan hanya menjadi tempat transformasi ilmu secara formal, namun lebih dari itu, disampingkan sebagai temapat transformasi ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan juga harus mampu membentuk dan melahirkan generasi-generasi muda yang berakhlukul karimah, berbudi luhur dan berjiwa tanggung jawab. Jadi pendidikan semestinya dan sudah seharusnya mampu melahirkan cikal bakal generasi-generasi bangsa yang mampu memberikan jawaban terhadap kompleksnya konflik yang terjadi. Lebih dari itu juga, pendidikan harus mampu mendidik masyarakat Indonesia yang multicultural, menuju kepada masyarakat yang sosialis, dinamis,  pluralis, toleransi, patriotism dan demokratis.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan?
2.      Apa pengertian dari konflik dan teori konflik sosial menurut para ahli?
3.      Apa yang menyebabkan terjadinya konflik sosial?
4.      Bagaimana solusi konflik sosial di sekolah?
5.      Bagaimana hubungan pendidikan dan konflik sosial di sekolah?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan
2.      Untuk mengetahui pengertian konflik dan teori konflik sosial menurut para ahli
3.      Untuk mengetahui cara mencari solusi konflik sosial di sekolah
4.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik social
5.      Untuk mengetahui hubungan pendidikan dan konflik sosial di sekolah
















BAB II
PEMBAHASAN PENDIDIKAN DAN KONFLIK


A.      Pengertian Pendidikan
Definisi pendidikan dapat kita telusuri dari kata pembentuknya. Pendidikan adalah kata didik yang mendapat imbuhan ‘pe’ dan ‘an’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  didik memiliki arti ‘memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan. Sedangkan definisi pendidikan sendiri adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Jadi dalam hal ini definisi pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan penelitian. Dari pengertian diatas terlihat bahwa melalui pendidikan, orang mengalami perubahan  sikap dan tata laku, orang berproses menjadi dewasa, menjadi matang dalam sikap dan tata laku. Proses pendewsaan ini dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut juga dipahami bahwa pendidikan merupakan proses, cara dan perbuatan mendidik.
Definisi pendidikan juga dapat kita lihat pada berbagai literatur dan gagasan yang disampaikan oleh banyak ahli. Misalnya Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959) mempunyai pendapat mengenai definisi pendidikan. Menurut Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ini pendidikan adalah “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara [2][1].
Berdasarkan definisi di atas, ditemukan 3 (tiga) pokok pikiran  utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga pokok pikiran tersebut.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Dalam arti sederhana, pendidikan bisa diartikan sebagai proses sosialisasi, yakni usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuaidengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pada bab 2 pasal 3 dijelaskan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu bangsa. melalui pendidikan, setiap peserta didik difasilitasi, dibimbing dan dibina untuk menjadi warganegara yang menyadari dan merealisasikan hak dan kewajibannya. Pendidikan juga merupakan alat yang ampuh untuk menjadikan setiap peserta didik dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Dari berbagai definisi pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

B.       Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.
Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk : Pembinaan Akhlak, Penguasaan Ilmu, Keterampilan bekerja dalam masyarakat, Mengembangkan akal dan Akhlak, Pengajaran Kebudayaan, Pembentukan kepribadian, Menghambakan diri kepada Allah, Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat
Sedangkan tujuan umum pendidikan Menurut kohnstamm dan gunning adalah untuk membentuk insan kamil atau manusia sempurna. Sedangkan menurut kihajar dwantara, tujuan akhir pendidikan ialah agar anak sebagai manusia (individu) dan sebagai anggota masyarakat (manusia sosial) , dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya.
Menurut UU No. 2 Tahun 1985, Tujuan Pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.

C.      Sejarah Teori Konflik
Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).
Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.
Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.

D.      Teori Konflik
Sebelum mengetahui beberapa dari macam-macam teori konflik, maka alangkah baiknya terlebih dahulu diberi pengantar tentang pengertian konflik itu sendiri. “Konflik” secara etimologis berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, tempat tinggal, pekerjaan, uang, dan kekuasaan?”, ternyata jawabannya tidak; dan ditanyakan oleh Cang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tak berdaya.
Soerjono Soekanto : Suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.
Dari pemaparan di atas secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan, menyingkirkan, mengalahkan atau menyisihkan [3][2].
Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari berbagai bagian  atau komponen yang mempunyai kepentingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.[4][3]
Teori konflik ini sebenarnya dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionarisme struktural.
Teori ini mulai muncul dalam sosiologi Amerika serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max weber. Kedua tokoh ini merupakan "teoritis konflik" tetapi teori mereka berbeda satu sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu teori.konflik neo-Marxian dan teori konftik neo-weberian. Versi neo-Marxian lebih terkenal dan berpengeruh ketimbang versi neo-Weberian.
Kedua teoretis konflik ini, Marx dan Weber, adalah penolakan terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Para teoretisi konflik memandang konflik dan pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain, struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena sumber-sumber daya ini dalam kadar tertentu selalu terbatas, maka konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi.
Marx dan Weber menerapkan gagasan umum ini dalam teori posilogi mereka dengan cara yang berbeda dan mereka pandang menguntungkan.
Karl Marx (stephen K. sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan Kelompok  muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dglam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan'prajutri menjadi kelas sosial. Jadi kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersubordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersubordinasi ini akan marah karena dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelas bahwa menciptakan aparat politik yang kuat -negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.
Dengan demikian, teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. la juga berpendapat bahwa pertentangan antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan sosial. Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas. Dalam hal ini Stephen K. Sanderson (1993: '12), beberapa strategi konflik marxian-modern adalah sebagai berikut:
1.         Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik ataupertentangan di antara dan di dalam kelompok-kelompok yangbertentangan.
2.         Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politikmerupakan hal pentingt yang berbagai kelompok berusaha merebutnya.
3.         Akibat tipikal dari pertentangan ini ada-lah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
4.         Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5.         Konflik dan pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial.
6.         Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial, menjadi hal yang umum dan sering terjadi.
Berikutnya Stephen K. Sanderson ,"menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara esensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idealis. Hal ini tidak mengherankan karena kenyataan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan gagasan teoritis yang bersifat materialis ketimbang idealis Materialistis dan konflik ini. Pada teoritis konflik Marxian memandang konflik sosial muncul terutama karena adanya upaya untuk memperoleh akses kepada kondisi-kondisi material yang menopang kehidupan sosial; dan mereka melihat kedua fenomena ini sebagai determinan krusial bagi pola-pola sosial dasar suatu mayarakat.
Sementara itu menurut R. Collins (Stephen K' Sanderson' 1993: 13), dalam teorinya Weber percaya bahwa konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam merebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi di antara berbagai tipe tersebut. Weber menekankan dua tipe. Dia menganggap konflik dalam arena  politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk- memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya, Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tuiuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Sebaliknya Weber, melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri, ia berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi-organtsasi politik formal, tetapi juga terjadi dalam setiap tipe kelornpok seperti organisasi keagamaan dan  pendidikan. Tipe konflik kedua yang sering kali ditekan oleh weber adalah konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunil mereka baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup cultural yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan; tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnyamisalnya pertentangan politik.
Jika kita urut perbedaan antara Marx Weber dan Karl Marx dalam hal menyangkut kemungkinan untuk memecahkan konflik dasar dalam masyarakat masa depan, dengan teori mereka di atas, maka terlihat sebagai berikut:
1.         Marx berpendapat bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi, sekali kekuatan-kekuatan ini dikembalikan kepada kontrol seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut akan dapat dihapuskan. Jadi sekali kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.
2.         Weber memiliki pandangan yang jauh pesimistik. la percaya bahwa pertentangan merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan sosial adalahciri permanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun tentu saja akan mengambil bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara substansial sangat bervarisi.
Tokoh utama teori konflik ini setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Marga M. Poloma, 1992:103) mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistis dari yang Tidak realities. Konflik yang realities berasal dari kekecewaan terhadap  tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.
Dalam hal lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117) mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
1.         Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
2.         Fungsionalitas konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan. sebagai contoh hasil pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada, hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat secara keseluruhan.
3.         Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok menurut coser, konflik dengan kelompok ruar akan membantu memantapkan batas-batas struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi, tetapi pada agati umum dan akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.
Bila ditilik teori konflik dari Coser di atas, terlihat bahwa teori yang ia kemukakan berbeda dengan analisis banyak kaum fungsionalis, yang memandang bahwa konflik itu merupakan disfunggsional bagi suatu kelompok. Sedangkan Coser memandang kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok melalui pengukuhan kembali identitaskelompok.
Coser  juga menyebutkan konflik itu merupakan sumber kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan itu ditangani dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Berikutnya Coser, juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara, konflik in group dan konflik out Group antara nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran,.antara konflik yang menghasilkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui lembaga-lembaga savety value, yaitu salah.satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mernpertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Begitu pula antara konflik pada struktur jaringan longgar dan struktur berjaringan ketat: juga Coser membedakan konflik realistis dengan non realistis.
Keseluruhan ini merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Teori Coser dapat disebutkan lebih menggambarkan fungsionalisme konflik; perspektif integrasi dan perseptif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing; keduanya adalah teori-teori parsial yang data atau peristiwanya berhubungan dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh. Konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap system sosial yang dapat dimengerti. Ralf Dahrendorf seorang sosiolog Jerman, sebagai tokoh utama teori konflik dan merupakan seorang pengkritik fungsionalisme struktural yang olehnya dianggap gagal memahami masalah perubahan. Sebagai landasan teorinya tidak menggunakan teori Simmel seperti Coser melainkan ia membangun teorinya dengan separuh penolakan, separuh menerima serta memodifi kasi teori sosiologis Karl Marx.
Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, meng-gapteori itu merupakan perspektif yang dapat digunakan menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sidikit kerjasama, kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisis dengan fungsionalisme struktural, dapat pula dianalisis dengan teori konflik dengan lebih baik.
Ralf Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992 145) menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat industri kontemporer. Kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi seperti yang dilakukan oleh Marx tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter berada di seputar pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompok-kelompok pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui perubahan kelompok semua menjadi kelo.mpok kepentingan yang mampu memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari kepentingan-kepentingan itu dan kemudian merupakan jembatan di atas mana perubahan sosial itu terjadi. Berbagai usaha harus diarahkan untuk mengatur pertentangan sosial melalui institusionalisasi yang efektif dari pada melalui penekanan pertentangan itu.
Berikutnya Dahrendorf mengemukakan teori konfliknya melalui pembahasan tentang wewenang dan posisi yang merupakan fakta sosial. Menurut Dahrendorf distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam mdsyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.
Kekuasaan dan wewenang menurut Dahrendorf (Ceorge Ritzer, 1985:31) senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Kekuasaan itu selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu berdempetan dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh Dahrendorf disebut sebagai peranan laten. la membedakan golongan yang terlihat konflik itu atas duatipe yaitu kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. sedangkan kelompok kedua yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semua yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini memiIiki struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat; kemudian terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial, konflik ini memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlihat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal, begitu pula jika konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan lebih efektif.
Pandangan Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 134) tentang alasan teoretis utama mengapa revolusi ala Marxis tidak terjadi, ini disebabkan karena pertentangan yang ada cenderung diatur melalui institusionalisasi. Pengaturan atau institusionalisasi'terbukti dari ti rnbuI nya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antara buruh dan manajemen. Melalui institusionalisasi pertentangan tersebut, setiap masyarakat mampu mengatasi masalahmasalah baru yang timbul. Dahrendorf menyatakan bahwa menyatakan institusionalisasi pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah. Organisasi mengisyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan dengan demikian menghilangkan ancaman perang gerilya bersifat permanen dan tak dapat diperhitungkan. Pada saat yang sama hal ini membuat pengaturan pertentangan secara sistematis dimungkinkan, organisasi adalah institusionalisasi. Di dalam melancarkan kritik sosiologis terhadap teori Karl Marx, Dahrendorf mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx.
Ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas; terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain ada beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang lain tidak; beberapa orang turut sefta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang lain tidak Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar.
Jika ditilik bahasan Dahrendorf di atas terlihat bahwa bahasan teorinya tentang konflik itu lebih menekankan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi; dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Kenyataan ini terlihat terulang kembali pada pandangan toeri konfliknya berikut ini. Menurut Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan kelas harus di Iihat sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang bertentangan itu sekali mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur sosial. Pertentangan antara buruh dan manajeman yang merupakan topic permasalahan utama bagi Marx misalnya, akan terlembaga lewat serikatserikat buruh. Pada gilirannya serikat buruh tersebut akan terlibat dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru, sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari institusionlisasi pertentangan kelas.
Menurut Margaret M. Poloma (1992: 137-138) menyebutkan bahwa Dahrendorf menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana dari Karl Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisis, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang tidak. Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan terapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Kekayaan, status ekonomi dan satus sosial, walaupun bukan merupakan determinan pencerminan kelas tetapi dapat memengaruhi intensitas pertentangan. Dalam hal ini Dahrendorf mengetengahkan proposinya yaitu, "semakin rendah korelasi ekonomi lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya. Dengan kata lain kelompok-kelompok .
Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori fungsionalisme struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh normanorma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanya disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Sebenarnya antara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sebenarnya, asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam kelompokkelompok dan organisasi-organisasi sosial. Setiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama yakni antara sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan wewenang dengan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahannya.
Mengenai penalaran teori konflik ini dijelaskan oleh Karel J. Veeger (1992: 93-95) sebagai berikut:
1.         Kedudukan orang dalam kelompok tidaklah sama, karena ada pihak yang bekuasa dan berwenang, dan ada pula pihak yang tergantung.
2.         Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula. Yang satu hendak berhasil dalam kedudukannya yang tinggi, mempertahankannya, memakai kesempatan-kesempatan khusus yang berkaitan dengan jabatannya, mengontrol arus informasi, dan mampu membalas jasa-jasa dari mereka yang setia agar mereka lebih setia. Pihak yang satu ini cenderung mengarah kepada konservatisme.
3.         Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan karenanya dapat disebut kepentingan tersembunyi (latent interests), yang tidak akan meletuskan aksi.
4.         Konflik akan berhasil membawa suatu perubahan dalam strutur relasirelasi sosial, jika kondisi-kondisi tertentu telah terpenuhi yaitu:
·         Kondisi-kondisi yang menyangkut keorganisasian, seperti: komunikasi efektif, pengerahan dan penempatan tenaga yang tepat, kesempatan dan kebebasan berasosiasi. tersedianya perintis (pendiri), pemimpin, dan ideologi.
·         Kondisi-kondisi yang menyangkut konflik sendiri seperti: adanya mobilitas sosial, sehingga individu-individu atau keluarga-keluarga secara realistis dapat mengharapkan dan memperjuangan perubahan sosial, mekanisme/sarana-sarana efektif dalam menangani dan mengatur konflik sosial.
·         Akhirnya ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan structural.
Secara garis besar, tentang teori konflik yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu sebagai berikut :
1.      Teori Konflik Mark
Teori ini muncul sebagai pengritik dari teori struktural fungsional. Struktural fungsional lebih memandang masyarakat dari sisi keseimbangannya. Padahal masyarakat penuh dengan ketegangan dan selalu berpotensi melakukan konflik [5][4].
Mark mempunyai beberapa pandangan tentang kehidupan sosial yaitu [6][5]:
a)        Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan;
b)        Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena berkerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
c)        Bagi Mark, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan asset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik antara kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling menonjol menurut Marx adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang barang yang material.
d)       Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari  dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar.
e)        Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha.
f)         Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya.
2.      Teori Konflik Ralf Dahrendof
Ralf Dahrendof menyatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi).
            Secara garis besar pokok-pokok teori ini adalah :
a)        Setiap kehidupan sosial berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal maupun secara interpersonal.
b)        Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yang mengisi setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial itu sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial.
c)        Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya konflik.
d)       Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuataan-kekuataan lain. Dominasi kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung simpanan benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik terbuka.
3.      Teori Konflik Jonathan Turner
Turner  memusatkan perhatiannya pada konflik sebagai suatu proses dari pristiwa-pristiwa yang mengarah kepada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan Sembilan tahapa menuju konflik terbuka. Adapun Sembilan tahap itu adalah sebagai berikut :
a)        Sistem sosial terdiri dari unit-unit atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain.
b)        Didalam unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan.
c)        Unit-unit atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai  mempertanyakan legimitasi sistem tersebut.
d)       Pertanyaan atas legimitasi itu membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.
e)        Kesadaran itu menyebabkan mereka secra emosional terpancing untuk marah.
f)         Kemarahan tersebuut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisir.
g)        Keadaan yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang.
h)        Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa.
i)          Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan dalam konflik sangat tergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara obyektif atau kemampuan masing-masing pihak untuk menanggapi, mengatur, dan mengontrol konflik itu.
4.      Teori Konflik Lewis Coser
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali disebut teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Coser mulai dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Meskipun definisi tersebut mefokuskan pada adanya pertentangan, perjuangan memperoleh sumber yang langka, yakni dimana setiap orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari orang lain, namun didalam menafsirkannya Coser menyatakan bahwa konflik itu bersifat fungsional (baik) dan bersifat disfungsional (buruk) bagi hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tidak terangkum dalam sistem sosial sebagai suatu keseluruhan. [7][8] Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik yaitu [8][9]:
a)        Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan.
b)        Kelompok dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarkannya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain.
c)        Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif.
5.      Teori Konflik C. Wright Mills
Teori konflik C. Wright Mills. Mills adalah salah satu sosiolog Amerika yang berusaha menggabunkan perspektif konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial [9][10].
Jadi dari beberapa teori konflik di atas dapat di ambil kesimpulannya, teori konflik yaitu elemen-elemen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna meperoleh kepentingan yang sebesar-besarnya. Menurut karl Marx konflik merupakan salah satu kenyataan sosial yang bisa di temukan diman-mana, sedangkan menurut Ralf Dahendorf masyarakat mempunyai dua wajah yakni konflik dan konsensus, kemudian menurut Jonathan Turner konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih, lalu menurut Lewis Coser Ia memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi dari konflik, dan yang terakhir menurut C. Wright Mills Ia menggabungkan perspektif konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial.

E.       Penyebab Terjadinya Konflik
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai akibat dari:
1.         Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2.         Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3.         Ada pihak yang di Rugikan
Salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4.         Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak laindianggap merugikan.
Selain diatas faktor penyebab konflik juga dapat disebabkan oleh:
a)      Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan..
b)      Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapatmemicu konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok manusia memiliki perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbedaOleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang ataukelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
c)      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.

Pada dasarnya, secara garis besar penyebab konflik dibagi menjadi dua, yaitu;[10][11]
1.         Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir, cendekiawan, dan lain-lain. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
2.         Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi bedasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan konflik sosial karena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayan, pendidikan yang mapan kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Kemudian secara terperinci penyebab terjadinya konflik dapat diperjelas diantaranya:[11][12]
1.         Perbedaan anatar individu, diantaranya perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam realitas sosial tidak ada satupun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik sosial.
2.         Benturan antar kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
3.         Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu mendanak biasanya diwarnai oleh gejala dimana tatanan prilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.
4.         Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan out group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling baik, ideal, beradab diantara kelompok lain. Jika masing-masing kelompok yang ada didalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
Dalam bukunya Husaini Usman, menyebutkan penyebab munculnya konflik diantaranya; [12][13]
1.         Konflik diri sendiri dengan seseorang dapat terjadi karena perbedaan peranan, pkepribadian, dan kebutuhan.
2.         Konflik diri sendiri dengan kelompok dapat terjadi karena individu tersebut mendapat tekanan, atau individu bersangkutan telah melanggar norma-norma kelompok sehingga dimusuhi atau dikucilkan oleh kelompoknya.
3.         Konflik dapat terjadi karena adanya suantu ambisi salah satu kelompok untuk berkuasa, ada kelompok yang menindas, ada kelompok yang melanggar norma-norma budaya kelompok lainnya, ketidakadilan kelomok lainnya, dan keserakahan kelompok lainnya.
Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu : perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan perubahan sosial.
1.         Perbedaan antar individu
Merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggan, dan identitas seseorang.
Sebagai contoh terdapat siswa yang ingin suasana belajar tenang tetapi siswa yang lain ingin belajar sambil bernyanyi, karena menurut siswa tersebut belajar sambil bernyanyi itu sangat mundukung. Kemudian timbul amarah dalam siswa yang lain. Sehingga terjadi konflik.
2.         Perbedaan Kebudayaan
Kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat . tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya.
Interaksi sosial antarindividu atau kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci sehingga berakibat konflik.
3.         Perbedaan Kepentingan
Setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik diantara mereka.
4.         Perubahan Sosial
Perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat.
Sebagai contoh kaum muda ingin merombak pola perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya. Maka akan timbulah konflik diantara mereka.

F.       Jenis-jenis Konflik
Menurut Soerjono Soekanto konflik dibedakan menjadi 5 bentuk, yaitu : 1) konflik atau pertentangan pribadi, 2) konflik atau pertentangan rasial, 3) konflik atau pertentangan antar kelas-kelas sosial, 4) konflik atau pertentangan politik, dan 5) konflik atau pertentangan yang bersifat internasional
1.         Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong hal tersebut untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Contoh: konflik antara suami dan istri karena masalah keuangan.
2.         Konflik Rasial
Konflik rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragraman suku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus. Sebenarnya konflik ini bukan berasal dari perbedaan ras tapi karena adanya kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan perbedaan orientasi budaya yang belum terintegrasi secara sempurna. Contoh: konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi di Sambas dan Sampit pada tahun 1998-1999.
3.         Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai (prestise), seperti kekayaan, jabatan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial. Contoh: konflik antara buruh dan majikan.
4.         Konflik Politik
Konflik yang terjadi antargolongan dalam satu masyarakat maupun antara Negara-negara yang berdaulat. Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik yang berbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama, yaitu pertentangan antara partai-partai politik untuk memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan negara, atau gerakan untuk mendirikan negara sendiri. Karena perbedaan inilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar. Contoh: GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang berkonflik dengan pemerintah RI.
5.         Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional yaitu konflik yang melibatkan beberapa kelompok negara atau antarblok. Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara. Penyebab konflik ini misalnya adalah benturan kepentingan ekonomi, politik, wilayah, dan tanah jajahan. Contoh: Perang Dunia I, Perang Dunia II.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1.         Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagianbesar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problemtidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalamfrekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksisecara harmonis.
2.         Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan danterjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yangkonstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3.         Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat.Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yangterlibat akan tetap terjaga.
Menurut Lewis A. Coser konflik dibedakan menjadi 2 yaitu :
1.         Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem atau tuntutan yang terdapat dalam hubungan sosial.
2.         Konflik nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonis (berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan.
Berdasarkan kedua bentuk konflik diatas Lewis A. Coser membedakannya lagi kedalam dua bentuk konflik berbeda, yaitu :
1.         Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok itu sendiri
2.         Konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara suatu kelompok dengan kelompok lain.
Berdasarkan sifatnya, konflik dibagi menjadi 2, yaitu :
1.         Konflik destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang , rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok orang . Pada titik tertentu konflik ini dapat merusak atau menghancurkan sebuah hubungan.
2.         Konflik konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini menghasilkan konsesus dari perbedaan pendapat menuju sebuah perbaikan.
Berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik, terdiri dari :
1.         Konflik vertikal, konflik antar komponen masyarakat didalam suatu struktur yang bersifat hirarkis. Contohnya konflik yang terjadi antara masyarakat dengan negara.
2.         Konflik horisontal, konflik antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar etnis, suku atau agama
3.         Konflik diagonal, merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan aloksi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan ekstrim, contoh konflik poso
Berdasarkan sifat pelaku yang berkonflik, terdiri dari :
1.         Konflik terbuka, merupakan konflik yang diketahui semua pihak, contoh konflik antara Israel dengan Palestina.
2.         Konflik tertutup, konflik yang hanya diketahui oleh orang-orang atau kelompok yang terlibat konflik

Grafik Tahapan Konflik

G.      Solusi dalam Penyelesaian Konflik
Setelah mengetahui penyebab terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba berbagai alternatif teoritis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni diantaranya adalah sebagai berikut:
1.         Model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal.
2.         Model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.
3.         Model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.
4.         Model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari jalan keluarnya.  Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).  Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, bersamaan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian, penerapannya tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Konflik tidak akan terjadi apabila masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, sehingga kerugian akibat dari konflik dapat ditekan sedemikian rupa. Ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu:
1.         Konsolidasi
Merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Lembaga parlementer yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok kepentingan akan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, biasanya lembaga ini melakukan pertemuan untuk jalan damai. Untuk dapat berfungi dengan baik dalam melakukan konsiliasi, maka ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu:
a.       Lembaga tersebut merupakan lembaga yang bersifat otonom.
b.      Kebudayaan lembaga tersebut harus bersifat monopolitis.
c.       Peran lembaga tersebut harus mengikat kepentingan semua kelompok.
d.      Peran lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
2.         Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang bertikai untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu menjadi pengendalian konflik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya pada konflik berbau sara di Poso, dimana pemerintah menjadi mediator menyelesaikan konflik tersebut tanpa memihak satu sama lainnya.
3.         Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga jenis pengendalian konflik ini memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial dalam masyarakat.
Cara lain sebagai wujud penyelesaian konflik yaitu dengan cara produktif dan cara non produktif.
a.       Cara produktif :
1)      Withdrawal (penarikan), yaitu menunggu sambil berusaha memahami situasi,  setelah kira-kira mampu dan yakin dapat berhasil, baru melangkah untuk mengatasinya.
2)      Assertif (tegas), yaitu berusaha mengatasi secara tegas dan dengan cara yang baik, serta berusaha membina hubungan yang baik dengan pihak lain ditandai dengan adanya kemauan baik untuk saling mengerti dan memahami alasan, pertimbangan, dan kepentingan pihak lain.
3)      Adjusting (menyesuaikan), yaitu berusaha menyesuaikan diri dengan pihak lain.
b.      Cara tidak produktif :
1)      Avoidance (penghindaran), yaitu menghindar dari konflik.
2)      Force (kekuatan, paksaan), yaitu menggunakan kekuatan fisik, ancaman, teror, dan paksaan.
3)      Mengabaikan adanya konflik karena menganggap konflik tersebut tidak penting.
4)      Blame (menyalahkan), yaitu menyalahkan orang lain karena sumber konflik tidak jelas.
5)      Silencers (peredam), yaitu bersikap supaya orang lain diam dengan cara menangis, menggunakan kata sarkasme yang menyinggung masalah pribadi.
Cara-cara lainnya dalam menyelesaikan konflik dalam bentuk akomodasi, diantaranya sebagai berikut :
1.         majority rule : keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dalam voting. Contoh : Ketika para siswa hendak mengadakan widyawisata, terjadilah perbedaan dalam menentukan objek. Untuk mencapai kata mufakat diadakan voting.
2.         conciliation (konsiliasi) : mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk membuat kesepakatan bersama.
3.         stalemate : berhenti pada titik tertentu karena kekuatan seimbang.
4.         elimination : pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
5.         integration : mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.
6.         arbitrasi : mengundang pihak ketiga yang memberikan keputusan. Keputusan mengikat pihak yang konflik. Contoh : Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan tentang sah atau tidaknya suatu pasal dalam undang-undang yang menjadi sengketa di antara lembaga-lembaga negara.
7.         mediasi : mengundang pihak ketiga untuk memberikan nasihat.
8.         kompromi : mengurangi tuntutan.
9.         toleransi : menghargai perbedaan.
10.     koersi : paksaan.

H.      Upaya Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Konflik
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP No. 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Jokowidodo pada tanggal 2 Februari 2015, yang diharapkan dapat melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat secara optimal serta penanganan konflik sosial secara komprehensif, terkoordinasi, dan terintegrasi.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang peraturan pelaksanaan penanganan konflik sosial ini mengatur ketentuan mengenai pencegahan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan dan kekuatan TNI, pemulihan pascakonflik, peran serta masyarakat, pendanaan penanganan konflik, dan monitoring dan evaluasi.
Melalui peraturan ini, pemerintah dan pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan pencegahan konflik melalui penyelenggaraan kegiatan :
1.         Penguatan kerukunan umat beragama;
2.         peningkatan forum kerukunan masyarakat;
3.         peningkatan kesadaran hukum
4.         pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan;
5.         sosialisasi peraturan perundang-undangan;
6.         pendidikan dan pelatihan perdamaian;
7.         pendidikan kewarganegaraan;
8.         pendidikan budi pekerti;
9.         penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik dan/atau daerah Konflik;
10.     penguatan kelembagaan dalam rangka sistem peringatan dini;
11.     pembinaan kewilayahan;
12.     pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai integrasi kebangsaan;
13.     penguatan/pengembangan kapasitas (capacity building);
14.     pengetasan kemiskinan;
15.     desa berketahanan sosial;
16.     penguatan akses kearifan lokal;
17.     penguatan keserasian sosial; dan
18.     bentuk kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Selain itu dalam melakukan pencegahan konflik, pemerintah dan pemerintah daerah harus mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui musyawarah mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat seperti tokoh agama, tokoh adat dan atau unsur masyarakat lainnya termasuk pranata adat dan pranata sosial, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 Ayat 1 dan 2 pada PP tersebut.
Adapun tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah itu di antaranya meliputi sejumlah tindakan. Yakni diantaranya :
a.         Penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban konflik;
b.         Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik;
c.         Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
d.        Perlindungan terhadap kelompok rentan;
e.         Sterilisasi tempat yang rawan konflik;
f.          Penegakan hukum; dan
g.         Penyelamatan harta benda korban.
PP ini pun mengatur keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI untuk penghentian konflik dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh pemerintah daerah atau pemerintah. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan untuk menghentikan kekerasan fisik, melaksanakan pembatasan dan penutupan kawasan konflik untuk sementara waktu.
Adapun upaya pemulihan pascakonflik berdasarkan peraturan tersebut, akan dilakukan dengan cara : a)  Rekonsiliasi; b) Rehabilitasi; dan c) Rekonstruksi.

I.         Dampak Sebuah Konflik
Dampak sebuah konflik memiliki 2 sisi yang berbeda yaitu dilihat dari segi positif dan dari segi negatif.
1.         Segi positif dari konflik adalah sebagai berikut:
a.       Konflik dapat memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih belum tuntas di telaah.
b.      Konflik memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma, nila-nilai, serta hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu atau kelompok.
c.       Konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
d.      Konflik merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan kelompok.
e.       Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma baru.
f.       Konflik dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
g.      Konflik memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang berkonflik berada dalam kekuatan yang seimbang.
2.         Segi negatif dari konflik adalah sebagai berikut :
a.       Keretakan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok.
b.      Kerusakan harta benda dan hilangnya nyawa manusia.
c.       Berubahnya kepribadian para individu.
d.      Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.









BAB III
KONFLIK SOSIAL DI SEKOLAH


A.      Pengertian Konflik Sosial
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dalam berin-teraksi, setidaknya diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Secara awam konflik sering diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan (Kamus besar Bahasa Indonesia (2002). Dalam arti yang lain konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).
Secara sosiologis, konflik  diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sebagai contoh Tawuran antar pelajar. Fenomena ini termasuk dalam kategori konflik. Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mem-pengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins, 1996). Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dan, ia dapat terjadi karena hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan (Fisher, dalam Saputro, 2003).
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok anggota kelompok sosial tersebut sehingga terjadi kepincangan sosial. Sedangkan jenis-jenis masalah sosial remaja adalah :
1.         Siswa tidak toleran dan bersikap superior.
2.         Kaku dalam bergaul.
3.         Peniruan buta terhadap teman sebaya.
4.         Kontrol orang tua.
5.         Perasaan yang tidak jelas terhadap dirinya atau orang lain.
6.         Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah dan sikap permusuhannya.
Bahaya yang umum dari ketidakmampuan penyesuaian diri siswa dengan lingkungan kelompok sosialnya dilihat sebagai berikut:
1.         Tidak bertanggung jawab, tampak dalam perilaku mengabaikan pelajaran, misalnya, untuk bersenang-senang dan mendapatkan dukungan sosial.
2.         Sikap yang sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri.
3.         Perasaan tidak aman, yang menyebabkan siswa patuh mengikuti standar-standar kelompok.
4.         Perasaan menyerah.
5.         Terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
6.         Mundur ketingkat perilaku yang sebelumnya agar supaya disenangi dan diperhatikan.
Bahaya yang akan di hadapi siswa karena ketidakmampuannya dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya tidak hanya mengabaikan pelajarannya tapi mungkin siswa bisa melupakan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya seperti mencapai kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mencapai kematangan pertumbuhan jasmaniah yang sehat, mengembangkan penguasan ilmu, teknologi dan seni sesuai dengan program kurikulum dan persiapan karir atau melanjutkan pendidikan tinggi, serta berperan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas dan mencapai kematangan dalam pilihan karir.
1.         Faktor yang mempengaruhi konflik sosial di sekolah
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik sosial di sekolah, dapat kita lihat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan diterima atau tidaknya siswa dalam  kelompok sosial, yaitu sebagai berikut:
a)      Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap yang menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri.
b)      Terkenal sebagai orang yang tidak sportif.
c)      Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapian.
d)     Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, menggagngu dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana.
e)      Kurangnya kematangan, terutama kelihatan dalam hal pengendalia emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan kebijaksanaa.
f)       Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.
g)      Status sosio-ekonomis di bawah status sosio-ekonomis kelompok  dan hubungan yang buruk dengan anggota-angota keluarga.
h)      Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena bekerja sambilan.
Selain dari kondisi-kondisi yang menyebabkan diterima atau tidaknya siswa dalam  kelompok sosial, faktor yang lain dapat juga dilihat dari kondisi-kondisi yang mempengaruhi konsep diri siswa, sebagai berikut:
1.         Usia kematangan. Remaja kematangan lebih awal, yang diperlakuka seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
2.         Penampilan diri, Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.
3.         Nama dan julukan, Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
4.         Hubungan keluarga, Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk jenis seksnya.
5.         Teman-teman sebaya, Teman-teman mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.

B.       Pengertian Sekolah
Pengertian sekolah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberi pelajaran.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sekolah merupakan salah satu tempat bagi para siswa untuk menuntut ilmu. Dan melihat kenyatannya hingga sekarang sekolah masih dipercaya oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai salah satu tempat untuk belajar, berlatih kecakapan, menyerap pendidikan atau tempat proses mendewasakan anak.
Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah. Kepala Sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah. Jumlah wakil kepala sekolah di setiap sekolah berbeda, tergantung dengan kebutuhannya. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengan fasilitas lain.

C.      Permasalahan dalam Dunia Pendidikan
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan diantaranya sebagai berikut :
1.      Kekerasan
Kekerasan dalam institusi pendidikan dapat terjadi ketika komunitas pendidikan di dalam sekolah dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian masing-masing, memiliki latar belakang budaya, agama, masing-masing dan tidak selalu interaksi yang dilakukan menyenangkan[13][2].
Kekerasan atau intimidasi sudah sering menjadi kasus dalam suatu sekolah. Intimidasi  tersebut tidak hanya dilakukan oleh siswa namun juga melibatkan warga sekolah yang lain, seperti: a) intimidasi siswa kepada siswa lain, b) intimidasi guru kepada siswa, sesama guru dan orang tua, c) intimidasi karyawan pada guru dan siswa, d) intimidasi kepala sekolah pada guru, karyawan, siswa, dan orag tua, serta e) intimidasi orang tua pada guru, karyawan sekolah, kepala sekolah dan anak-anak mereka.
Kekerasan dalam sekolah sudah terjadi semenjak siswa tersebut masuk dalam sekolah. Biasanya terjadi pada saat MOS( masa orientasi siswa). Dalam MOS tersebut banyak senior yang mengintimidasi siswa baru dan kebanyakan dengan tindakan kekerasan sehingga bnayak menimbulkan korban karena tidak hanya menyakiti fisik saja namun juga mentalnya, bahkan pada beberapa sekolah hingga terdapat siswa yang meninggal dunia.
Solusi dari tindak kekerasan tersebut adalah dengan membangun lembaga swadaya pendidikan bagi siswa yang tetangkap karena perilaku kekerasan. Dalam lembaga tersebut menekankan pada latihan fisik dengna pendekatan klasikal. Atau dengan metode ceramah tentang perilaku yang baik[14][3].
2.      Putus Sekolah
Putus sekolah merupakan predikat bagi peserta didik yang tidak mampu menamatkan pendidikannya pada jenjang tertentu sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya[15][4].
Beberapa faktor yang melatar belakangi seorang anak putus sekolah yaitu:
a.       Ekonomi, biasanya seorang anak dari keluarga yang kurang mampu menjadi putus sekolah krena ketidakmampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya sehingga mereka terpaksa harus putus sekolah.
b.      Konflik, seorang siswa mungkin meresa tidak nyaman dengan teman sebayanya atau seniornya karena suatu konflik di sekolah tersebut, misalnya mereka mempunyai musuh atau melakukan perbuatan yang melanggar aturan disekolah.
c.       Tindakan kriminal, misalnya seorang siswa yang berurusan dengan pihak yang berwajib karena melakukan tindakan kriminal sehingga berdampak pada pendidikannya sehingga siswa tersebut putus sekolah atau bahkan dikeluarkan dari sekolah.
d.      Akses yang sulit, biasanya hal ini terjadi peada daerah terpencil dimana seorang siswa harus menempuh jarak yang jauh dan medan yang sulit untuk mencapai sekolahnya sehingga banyak diantra mereka yang memilih untuk tidak bersekolah lagi.
e.       Bencana Alam, faktor alam juga mempengruhi seorang anak putus sekolah. Misalnya terjasi gempa bumi, banjir, gunung meletus, tsunami yang dapat menghancurkan sekolah mereka sehingga mereka mennjadi putus sekolah.
Solusi dari kasus ini adalah dengan cara :
Langkah preventiv, yaitu dengan membekali peserta didik dengan keterampilan-keterampilan yang praktis dan bermanfaatsejak dini.
a.       Langkah pembinaan, yaitu dengan membekali peserta didik dengan pengetahuan-pengetahuan perkembangan zaman melalui lembaga sosial.
b.      Langkah tindak lanjut, yaitu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk lebih maju dan berkehidupan yang lebih baik dalam masyarakat [16][5].
3.      Kenakalan Remaja
Menurut Prof. Dr. Fuad Hasan bahwa kenakalan remaja yaitu perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak atau remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dinamakan tindak kejahatan [17][6].
Beberapa contoh kenakalan remaja, diantaranya sebagai berikut :
a.       Ngebut, yaitu mengendarai kendaraan bermotor dengan melampaui batas maksimal sehingga mengganggu dan membahayakan pengendara yang lain.
b.      Peredaran pornografi dikalangan pelajar
c.        Anak yang suka merusak barang orang lain
d.      Membentuk geng dengan norma yang menyeramkan
e.       Berpakaian dengan mode yang tidak selaras dengna lingkungan serta tidak enak dipandang
Beberapa penyebab kenakalan remaja, yaitu :
a.       Lingkungan keluarga yang tidak harmonis, sehingga seorang anak kurang perhatian dan kasih sayang dan menyalurkan kekecewaan tersebut dengan mencari kegiatan yang negatif diluar keluarganya.
b.      Situasi, keadaan rumah tangga, sekolah dan lingkungan yang menjemuhkan dan membosankan yang seharusnya menyengakan.
c.       Lingkungan masyarakat yang kurang menentu bagi prospek kehidupan mendatang. Seperti lingkungan korupsi, manipulasi.
Kebijakan yang digunakan untuk mengatasi kenakalan remaja tersebut adalah dengan:
a.       Menciptakan suasana keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang sejak dini.
b.      Disekolah, hendaknya kultur atau budaya, kritis, akademis, serta kreatif dibina dengan maksimal agar terbentuk kestabilan emosi sehingga tidak mudah mengguncang dan menimbulkan akses-akses yang mengarah pada perbuatan yang berbahaya serta bersifat kenakalan.
c.       Lingkungan, sebaiknya semua lapisan masyarakat serta tokoh-tokoh masyarakat seperti pemuka agama, pemerintah daerah, penguasa setempat, penegak hukum, tenaga medis, pendidik, psikiater, organisasi sosial, dan sebagainya secara padu mengambil andil dalam terbentuknya masyarakat yang lebih terprogram[18][7].
4.      Munculnya Kelompok-Kelompok atau Geng
Geng merupakan salah satu dari kelompok sosial yang dapat tercipta dalam lingkungan sekolah hal ini dapat terjadi disebabkan karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup sendiri di dunia. Terlebih lagi Sekolah Menengah Atas yang muridnya merupakan remaja yang secara psikologi kemampuan berpikir mereka sedang berkembang, memperluas pergaulan sesama siswa dan berpaling kepada teman sebaya yang lebih mengerti kondisi emosi kita. sehingga tidak menerima lagi masukan orang tua secara mentah-mentah .dan sekolah merupakan tempat kedua mereka setelah dirumah karena sebagian waktu mereka dalam sehari mereka habiskan di sekolah. jadi sangat memungkinkan sekolah menjadi sarana untuk hal tersebut.
Faktor penyebab munculnya geng pelajar di sekolah antaralain sebagai berikut :
a.       Pengawasan kegiatan anak setelah kegiatan di sekolah yang masih kurang.
b.      Kurangnya kegiatan di luar akademik yang sesuai dengan bakat dan minat remaja.
c.       Peraturan yang kadang membuat siswa bosan dan memilih hal-hal yang menghindar dari peraturan tersebut.
d.      Munculnya orang-orang di luar lingkungan pendidikan yang mempengaruhi dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan negatif sehingga terbentuk geng.
e.       Pencarian jati diri untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan.
5.      Fenomena Tawuran Antar Pelajar
Tawuran antar pelajar mungkin sudah menjadi hal yang biasa belakangan ini. Media masa selalu memberitakan tentang fenomena yang terjadi diantara para remaja yang masih menempuh pendidikan. Waktu yang seharusnya mereka lakukan untuk belajar justru mereka gunakan untuk saling menyerang satu sama lain. Tawuran antar pelajar ini semakin menjadi semenjak dibentuknya geng-geng, rasa persahabatan yang kuat membuat mereka merasa bagaikan satu tubuh. Apabila ada anggota yang mendapat masalah, maka seluruh anggota akan ikut turun tangan untuk menyelesaikannya. Yang menjadi masalah adalah emosi yang belum stabil pada usia mereka. Masalah yang semula kecil bisa berakibat fatal karena dihadapi dengan penuh emosi.
Penyebab terjadinya tawuran antar pelajar antara lain:
a.       Sebab terkecil yang melatar belakangi tawuran yaitu saling ejek satu sama lain, hingga kemudian diantara mereka ada yang tidak terima lalu mereka menyerang kubu yang lain.
b.      Dendamnya seorang siswa, hingga ia berusaha untuk membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap telah merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah.
c.       Tingkat kestresan dalam menghadapi materi pelajaran. Seperti yang diketahui bahwa materi pelajaran yang ada di sekolah cukup bannyak dan berat. Akhirnya stress yang mereka alami itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
d.      Factor lain adalah lemahnya pemahaman tentang agama serta aplikasinya. Mereka tidak tertarik dengan hal keagamaan, sehingga pemahaman mereka kurang. Selain itu, mereka tidak diajarkan untuk aktik mempraktekkan materi yang mereka dapat. Mereka hanya mengetahui teori dan lemah dalam hal praktek.

D.      Peran Pendidikan dalam Mengatasi Konflik Sosial
Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya (kognitif), nilai dan sikapnya (afektif), serta keterampilannya (psikomotorik). Dalam hal ini pendidikan bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian manusia.
Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup 3 dasar pendidikan (tri dharma pendidikan) yakni, pertama kegiatan mendidik dan mengajar, kedua kegiatan penelitian dan ketiga pengabdian pada masyarakat. Istilah mendidik dan mengajar menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pembentukan watak dalam mengembangkan budi pekerti hati nurani kecintaan, rasa kesusilaan dan lain-lain serta memberi ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia. Kegiatan penelitian merupakan aplikasi dari pengetahuan yang didapat peserta didik untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungannya sehingga akan terjadi sesuatu pembiasaan dalam bertindak. Pengabdian dalam masyarakat adalah hal yang paling penting dalam transformasi nilai pendidikan sehingga pendidikan bisa berfungsi untuk menyelesaikan persoalan hidup bagi masyaraka yang lebih baik.
Pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik social dalam kelas, trutama peran seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing sangat dibutuhkan dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah sosial siswa, diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa yang mengalami masalah sosial.
Untuk mendapatkan solusi secara tepat atas permasalahan sosialnya, guru harus terlebih dahulu melakukan identifikasi dalam upaya mengenali gejala-gejala secara cermat terhadap fenomena-fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya permasalahan sosial yang melanda siswa. Diagnosis dilakukan untuk mengetahui dan menetapkan jenis masalah yang dihadapi klien lalu menentukan jenis bimbingan yang akan diberikan. Dalam melakukan diagnostik masalah sosial siswa perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.         Mengenal peserta didik yang mengalami masalah sosial
Dalam mengenali peserta didik yang mengalami masalah sosial, cara yang paling mudah adalah dengan melaksanakan sosiometri. Sosiometri merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data terntang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam suatu kelompok. Sehingga, akan tergambar siswa yang mengalami masalah sosial.
2.         Memahami sifat dan jenis masalah sosial
Langkah kedua dari diagnosis masalah sosial ini mencari dalam hubungan apa saja peserta didik mengalami masalah sosial. Dalam hal ini guru pembimbing memperhatikan bagaimana perilaku siswa dalam pergaulan, baik di sekolah, rumah dan masyarakat.
3.         Menetapkan latar belakang masalah sosial
Langkah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang yang menjadi sebab timbulnya masalah sosial yang dialami siswa. Cara ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku siswa yang bersangkutan, selanjutnya dilakukan wawancara dengan guru, wali kelas, orang tua dan pihak-pihak lain yang dapat memberikan informasi yang luas dan jelas.
4.         Menetapkan usaha-usaha bantuan
Setelah diketahui sifat dan jenis masalah sosial serta latar belakangnya, maka langkah selanjutnya ialah menetapkan beberapa kemungkinan tindakan-tindakan usaha bantuan yang akan diberikan, berdasarkan data yang diperoleh.
5.         Pelaksanaan bantuan
Langkah ini merupakan pelaksanaan dari langkah sebelumnya, yakni melaksanakan kemungkinan usaha bantuan. Pemberian bantuan dilaksanakan secara terus menerus dan terarah dengan disertai penilaian yang tepat sampai pada saat yang diperkirakan. Bantuan untuk mengentaskan masalah sosial terutama menekankan akan penerimaan sosial dengan mengurangi hambatan-hambatan yang menjadi latar belakangnya. Pemberian bantuan ini bisa dilakukan melalui layanan konseling kelompok yang memanfaatkan dinamikan kelompok.
6.         Tindak lanjut
Tujuan langkah ini ialah untuk menilai sejauh manakah tindakan pemberian bantuan telah mencapai bantuan telah mencapai hasil yang diharapkan. Tindak lanjut dilakukan secara terus menerus, baik selama, maupun sesudah pemberian bantuan. Dengan langkah ini dapat diketahui keberhasilannya.
Bila kelompok menunjukkan agresif atau permusuhan, langkah pertama yang harus diambil oleh guru adalah menganalisa situasi. Setelah tahu akar permasalahanya, yang terpenting adalah segera mencari solusi. Dalam hal ini semua pihak harus ikut berperan, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah.
1.         Peranan keluarga dalam penyelesaian masalah ini.
a.       Pendidikan yang mendasar di mulai di rumah. Orang tua harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik sebaiknya juga harus diubah. Orangtua tidak seharusnya mendikte anak, namun memberi keteladanan.
b.      Selain itu, tidak mengekang anak untuk melakukan sesuatu dan biarkan mereka berekspresi selama masih dalam batas yang wajar.
c.       Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta kondisi rumah yang nyaman dan kondusif. Yang tidak kalah penting adalah membatasi anak-anak dalam melihat tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan. Orangtua harus pandai memilih tontonan yang positif bagi anak sehingga dapat dijadikan teladan. Membatasi anak usia remaja memang lebih sulit, karena setiap informasi dapat mereka akses dari manapun.
d.      Penanaman nilai-nilai keagamaan semenjak dini perlu dilakukan, sehingga anak akan dapat membentengi diri mereka dari hal negative apabila tidak berada dilingkunagn keluarga.
2.         Peranan sekolah sangat penting dalam penyelesaian masalah ini.
a.       Untuk meminimalkan konflik, sekolah harus membuat tata tertib yang ketat agar siswa bisa lebih disiplin.
b.      Selain itu juga diperlukan peran BK dalam pembinaan mental siswa. BK membantu menemukan solusi bagi siswa yang mendapat masalah. Sehingga hal-hal yang dapat memicu terjadinya konflik dapat dicegah.
c.       Mengkondisikan suasana yang ramah dan penuh kasih sayang. Guru tidak hanya berperan sebagai penyalur pengetahuan, namun juga berperan sebagai orangtua yakni mendidik.
d.      Menyediakan fasilitas untuk menyalurkan energy siswa. Contohnya meyediakan kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Pada usia remaja energy mereka tinggi, sehingga perludisalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak mengarah pada hal yang merugikan.
3.         Peranan masyarakat dalam penyelesaian masalah.
a.       Masyarakat memberikan ruang bagi remaja untuk berekspresi.
b.      Mengapresiasi tindakan-tindakan positif yang dilakukan remaja.
c.       Memberikan keteladanan diluar lingkup keluarga.
4.         Peranan pemerintah dalam penyelesaian masalah.
a.       Dalam penyeleggaraan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah membutuhkan dana. Sehingga pemerintah harus memberikan subsidi untuk meningkatkan sarana dan prasrana kegiatan tersebut.
b.      Pemerintah harus tegas menerapkan sanksi hukuman. Memberikan efek jera pada siswa yang melanggar peraturan, sehingga ia akan berfikir berkali-kali untuk mengulangi hal yang sama. Apabila melihat sanksi yang tegas, maka orang lain pun akan segan untuk menirunya.























BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Dari penjabaran mengenai Pendidikan dan Konflik Sosial di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
2.      Tokoh utama teori konflik setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.
3.      Teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sosiolog yang baik adalah memadukan kedua pendekatan ini untuk menelaah kehidupan sosial; dengan berbuat.demikian ia akan memperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi suatu masyarakat. Sebenarnya, asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi sosial.
4.      Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
5.      Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.
6.      Secara sosiologis, konflik  diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
7.      Pemerintah telah menerbitkan PP No. 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan tersebut diharapkan dapat melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat secara optimal serta penanganan konflik sosial secara komprehensif, terkoordinasi, dan terintegrasi.
8.      Pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik sosial dalam kelas, trutama peran seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing sangat dibutuhkan dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah sosial siswa, diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa yang mengalami masalah sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Bernard Raho. Teori sosiologi modern. Kota: Prestasi Pustaka, 2007.
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta:  Kencana, 2011.
Dewi Wulansari. Sosiologi dan Konsep Teori. PT Refika Aditama, 2009.
Depdiknas. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2011.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana, 2011.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005.
Husaini Usman. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Irving M. Zeitlin. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: UGM Pres, 1998.
Johnson, Lois V. ikhtisar oleh Made pidarta. Pengelolaan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional, 2003.
Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Salinan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Salinan Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial
Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial
Soerdjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Syamsu Yusuf. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Rosda Karya, 2004.
Zainudin Maliki. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press, 2008.
http://www.scribd.com/doc/83919778/Teori-Konflik-Makalah-Jadi-Betty
http://zempat.blogspot.com/2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-
http://alpangeano.wordpress.com/2011/11/03/penanganan-kasus-terhadap-sisawa-yang-mengalami-masalah-sosial/
[1] [1] Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011). Hal. 189.
[2] [1] Undang - Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1 Pasal 1
[3][2] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 348.
[4][3] Damsar, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 55
[5][4] Zainudin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: UGM Press, 2008), hal.142-143.
[6][5] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi,.hal. 365.
[7][8] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1998), hal. 156.
[8][9] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi,.hal. 372-373.
[9][10] Bernard Raho, Teori sosiologi modern,( Kota: Prestasi Pustaka, 2007), hal 90.
[10][11] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi,.hal.360-361.
[11][12] Ibid., hal. 361-362.
[12][13] Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 389.
[13][2] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 189.
[14][3] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 190.
[15][4] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 201.
[16][5] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 203.
[17][6] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011. Hal 2016.
[18][7] Muhammad Rifa’i. Sosiologi Pendidikan: struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. 2011.  Hal 224.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar