CITRA DAN MASA DEPAN PENDIDIKAN
OLEH : AJAT ZATNIKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemerintah
Republik Indonesia dalam membangun pendidikan di Indonesia berpegang pada salah
tujuan bangsa Indonesia yang tertera dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945
alinea ke empat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan tujuan yang
tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dalam batang tubuh
konstitusi itu diantaranya Pasal
20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 32, juga mengamanatkan, bahwa
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional yang terbaru ini diwujudkan dalam Undang-undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam
Undang-undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dinyatakan
bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan itu
harus disadari arti pentingnya, dan direncanakan secara sistematis, agar
suasana belajar dan proses pembelajaran berjalan secara optimal. Dengan
terbentuknya suasana dan proses pembelajaran tersebut, peserta didik akan aktif
mengembangkan potensi sesuai dengan bakat dan minatnya. Melalui berkembangnya
potensi peserta didik, mereka akan memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Selanjutnya
pada pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, “pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap
kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan
di Indonesia diselenggarakan melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan adalah wahana
yang dilalui perserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam suatu
proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Terdapat tiga jalur
pendidikan yaitu, jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Jenjang
pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan
peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang akan dikembangkan.
Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi. Selanjutnya jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan
tujuan pendidikan dan suatu satuan pendidikan. Satuan pendidikan adalah
kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal,
nonformal dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Jenis
pendidikan meliputi, pendidikan umum, kejuruan, vokasi, profesional, akademik,
keagamaan dan khusus. Upaya mencapai setiap tujuan pendidikan pada jalur,
jenjang dan jenis dilakukan secara terarah, bertahap dan berkesinambungan.
Terarah berarti setiap program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan,
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bertahap, berarti pencapaian tujuan
dan pelaksanaan program-program pendidikan dilakukan secara bertahap dalam
rentang waktu lima tahunan. Berkesinambungan berarti terdapat keterkaitan yang
bersifat maju berkelanjutan antara satu tahup dengan tahap berikutnya. Dalam rangka
memberikan peta jalan dalam pengelolaan pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyusun rencana pembangunan
jangka panjang, sampai dengan tahun 2025, dengan Visi “menghasilkan insan
Indonesia Cerdas dan Kompetitif (insan kamil/Insan paripurna)”. Insan Indonesia cerdas adalah
insan yang cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas
sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Berdasarkan
visi tersebut, maka sistem, organisasi dan berbagai sumber daya, baik sumber
daya manusia maupun sumber daya yang lain perlu dikelola secara optimal, agar dapat
berfungsi secara optimal untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan. Pelayanan
yang berkualitas adalah apabila dapat memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan
dari konsumen atas pelayanan tersebut atau “good service quality as meeting or exceeding
what customers expect from the service”. Dengan pelayanan yang berkualitas dalam
berbagai komponen pendidikan, diharapkan akan terbangun image atau citra pendidikan
nasional yang lebih baik.
Berbagai
kebijakan yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan telah
ditetapkan dan diimplementasikan, dengan harapan kualitas pendidikan dapat berangsur-angsur
meningkat pada gradasi yang tinggi. The Education for All Development Index
(EDI) atau Indeks Pendidikan untuk Semua menunjukkan Indonesia menempati peringkat
64 dari 120 negara tahun 2012. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan yang baik dari
peringkat 69 dari 127 negara pada tahun 2011. Guna lebih meningkatkan indeks tersebut,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
melakukan berbagai upaya. Di antaranya adalah terus melanjutkan sosialisasi
program kegiatan melalui koordinasi nasional: penyempurnaan Forum Koordinasi Nasional
(Forkonas); penyusunan, penerbitan, dan penyebarluasan naskah best practice dan
naskah laporan EDI tingkat provinsi dan nasional; dan kegiatan lainnya yang
relevan.
Dengan
meningkatnya indek pendidikan untuk semua (The Education for All Development
Index (EDI) diharapkan kepuasan masyarakat dalam memperoleh pendidikan akan
meningkat, dengan demikian citra pendidikan nasional di mata masyarakat juga akan
meningkat. Namun sampai saat citra pendidikan nasional di mata masyarakat belum
diketahui secara pasti, oleh karena itu pada kesempatan ini akan dilakukan
untuk mengetahui bagaimana citra pendidikan nasional di mata masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
citra pendidikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia?
2.
Bagaimanakah
masa depan pendidikan di Indonesia?
C.
T ujuan
Penyajian Makalah
Secara umum
tujuan penyajian makalah ini adalah untuk mengetahui citra/image masyarakat terhadap pendidikan nasional.
Sedangkan secara khusus tujuan dari penyajian makalah ini adalah untuk
memperoleh informasi tentang:
1.
Citra
pendidikan yang dinilai dari kualitas pendidikan di Indonesia.
2.
Masa depan
pendidikan Indonesia untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
BAB
II
CITRA
DAN MASA DEPAN PENDIDIKAN
A.
Teori Citra
Pendidikan
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan sebagai salah
satu organisasi sektor
publik, mempunyai tugas dan fungsi
mengkoordinasikan kegiatan
pendidikan. Oleh karena
itu, sudah selayaknya meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan
yang memuaskan terhadap salah satu
customer. Dalam jangka
panjang strategi penguatan pelayanan
ini merupakan acuan peralihan
fokus atau penekanan
dari pembangunan aspek kuantitas
kepada aspek kualitas. Didampingi
akses pendidikan yang semakin
mudah dan akuntabilitas
publik yang semakin transparan,
mutu layanan pendidikan
ini akan menciptakan para
penggerak pembangunan menuju visi
negara dan bangsa
Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera. Selanjutnya lebih
diperjelas bahwa manajemen pelayanan pendidikan
bertujuan diantaranya untuk meningkatkan
kapasitas lembaga-lembaga di
pusat dan daerah, mengembangkan dan menerapkan sistem pengawasan
pembangunan pendidikan serta menyempurnakan manajemen pendidikan dengan meningkatkan otonomi satuan pendidikan
dan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada pengelola pendidikan dalam
menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan efisien.
Citra
merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu. Citra merupakan persepsi
yang terbentuk dalam benak manusia. Pembentukan persepsi manusia menurut K. Sereno
& Edward M Bodaken yang dikutip dari buku “Ilmu Komunikasi suatu
pengantar”, Deddy Mulyana, terdiri dari tiga aktivitas yaitu seleksi, organisasi
& intepretasi. Seleksi yang dimaksudkan adalah sensasi dan atensi terhadap
stimulus (fisik & psikologis) yang ditangkap oleh indra manusia, kemudian
diorganisasikan atau digabungkan dengan stimulus pengetahuan serta pengalaman
masa lalu. Penggabungan itu lalu diintepretasikan maknanya.
B.
Proses
Pembentukan Citra
Citra
adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengetiannya
tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk mengetahui citra seseorang terhadap objek
dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon dalam Rakhmat
menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengetahuan
yang kita miliki. Tidak akan ada teori dan sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan
pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat
mempengaruhi proses pemebntukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan
dan informasi informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung
menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan
citra kita tentang lingkungan.
Berdasarkan
pemahaman mengenai pembentukan persepsi atau pencitraan, maka seringkali
pembentukan citra lebih bersifat subyektif dan tidak sesuai dengan realitas
yang ada. Oleh karena itu, banyak
organisasi kemudian tidak cukup menjalankan program komunikasinya untuk
pembentukan citra, melainkan lebih kepada pembentukan reputasi organisasi.
Reputasi yang berasal dari kata bahasa Inggris Reputation memiliki arti nama baik.
Tujuan program komunikasi PR pada akhirnya tidak hanya membangun atau menciptakan
image/citra positif namun juga membangun kepercayaan terhadap public sehingga
mereka percaya dengan apa yang dilakukan organisasi adalah yang terbaik dan mengharumkan
namanya. Reputasi pada akhirnya dibentuk dari pembuktian yang kuat mengenai apa
yang dilakukan organisasi adalah memberikan yang terbaik bagi publik
sasarannya.
C.
Citra
Pendidikan di Indonesia
Citra
pendidikan Indonesia bagi banyak pengkaji dan pengamat pendidikan hampir selalu
selalu tidak positif. Citra negatif itu sebenarnya sudah sangat diketahui
publik dalam waktu relatif panjang. Tetap saja belum ada perbaikan citra itu
secara substantif meski berbagai upaya juga dilakukan pemerintah melalui
Kemendikbud dan Kemenag.
Salah
satu sebab kegagalan menumbuhkan citra lebih positif melalui peningkatan
kualitas pendidikan dasar dan menengah dalam berbagai seginya adalah kebijakan
yang selalu berubah-ubah, tidak konsisten, ad hoc, parsial dan remeh temeh.
Hal ini paling mendasar antara lain terlihat misalnya dalam soal kurikulum yang
sering disebut sebagai‘ganti menteri, ganti kurikulum’.
Tanpa
melalui penelitian mendalam yang bisa dipertanggungjawabkan, kurikulum demi
kurikulum diterapkan Kemendikbud. Lihatlah, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
yang mulai diterapkan pada 2004 diganti dengan Kurikulum Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) yang kemudian diganti lagi dengan Kurikulum 2013.
Kurikulum
2013 yang menghabiskan dana triliunan rupiah untuk sosialisasi, pelatihan guru
dan pengadaan buku teks boleh jadi pula diganti Mendikbud baru dalam Kabinet
pasca-Pilpres 2014 nanti. Karena itu seharusnya dilakukan kajian mendalam
tentang kurikulum yang tengah berlaku. Sebaiknya cukup memperbaiki dan
menyempurnakannya daripada menggantinya dengan kurikulum baru.
Akibat
berbagai kebijakan seperti itu, yang menjadi ‘korban’ terutama adalah para guru
dan tentu saja juga para murid dan orangtua. Guru khususnya kian menjadi sasaran
kritik masyarakat sebagai tidak berhasil mencerdaskan dan membentuk karakter
murid-muridnya. Mereka menjadi ‘kambing hitam’ kegagalan peningkatan mutu
pendidikan Indonesia.
Terlepas
dari soal ‘kambing hitam’, mutu guru Indonesia memang masih merupakan salah
satu masalah pokok pendidikan dasar dan menengah Indonesia. Sertifikasi guru
yang pertama kali diselenggarakan sejak 2004 tidak banyak berhasil meningkatkan
kualitas guru. Peneliti seperti Fahmi, Maulana dan Yusuf (2011) dan Bjork
(2012) tidak menemukan bukti sertifikasi berhasil meningkatkan mutu dan kinerja
guru maupun kinerja murid. Sami mawon, penelitian lebih akhir
oleh De Ree dkk (2012) dan Suryahadi & Sambodho, menemukan, sertifikasi
tidak berhasil meningkatkan hasil pembelajaran di 360 SDN dan SMPN. Tetapi
mereka menemukan, peningkatan pendapatan guru berkat tunjangan sertifikasi
berhasil mengurangi kecenderungan guru mencari pekerjaan sampingan untuk
tambahan pendapatan; dengan demikian sedikit banyak mengurangi kesulitan
keuangan mereka.
Kenapa
sertifikasi tidak atau belum berhasil? Kegagalan itu terkait banyak dengan
kenyataan proses pembelajaran murid bagi banyak guru lebih merupakan kerutinan
belaka. Para guru umumnya hanya mengulang-ulang pelajaran dari buku teks,
memberikan PR, melakukan tes penguasaan materi, dan kemudian memberi laporan
kinerja murid kepada orangtua atau wali murid.
Bisa
dibayangkan, dalam kerutinan itu hampir tidak ada imajinasi dan kreativitas
menyelenggarakan proses pembelajaran lebih efektif. Kenyataan ini terkait pula
dengan budaya rikuh melakukan terobosan karena para guru berhadapan dengan
kepala sekolah, pengawas, dan Dinas Pendidikan yang hampir tidak menyisakan
ruang gerak dan otonomi bagi mereka.
Kelangkaan
imajinasi dan kreativitas guru banyak terkait dengan proses pembelajaran yang
mereka terima sebelumnya dari LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)
seperti IKIP (yang kini sebagian besar menjadi Universitas) dan Fakultas atau
Prodi Tarbiyah di lingkungan UIN, IAIN atau STAIN. Bukan rahasia lagi, proses pembelajaran
mahasiswa atau calon guru di LPTK tidak mendorong tumbuhnya imajinasi dan
kreativitas.Merekamenghabiskan banyak waktu dalam matakuliah teknis keguruan
daripada matakuliah lebih substantif.
Walhasil
ketika menjadi guru, mereka pun juga tidak memiliki imajinasi dan kreativitas.
Bagi mereka yang terpenting adalah menyelesaikan tugas pembelajaran seperti
yang telah ditetapkan sesuai silabus. Tidak menjadi masalah bagi mereka apakah
pembelajaran itu berhasil meningkatkan mutu murid atau tidak.
Jelas,
masa depan pendidikan dasar dan menengah Indonesia tidak bisa hanya sekedar
rutinitas. Pembenahan mesti bermula dari peningkatan kualitas guru melalui
reformasi LPTK sehingga dapat melahirkan (calon-calon) guru yang tidak hanya
ahli dalam teknis keguruan, tetapi juga menguasai substansi ilmu yang
diajarkan. Pada saat yang sama, LPTK hendaknya memberikan ruang bagi tumbuhnya
kreativitas dan imajinasi mereka.
Kelak
ketika mereka menjadi guru, perlu pelatihan reguler baik sebelum bertugas
maupun setelah beberapa tahun bertugas (_pre-servirce dan in-service
trainings). Sepatutnya dihindari program pelatihan ad hoc
yang pada gilirannya berubah hanya sekedar formalitas seperti lazim terjadi
pada program untuk mendapatkan sertifikasi guru.
Selain
itu, perlu perbaikan sisstem penilaian kinerja guru. Sekali lagi, penilaian
semestinya tidak bersifat sementara dan parsial, tetapi kontinu dan
berkesinambungan. Jika dalam penilaian tersebut kinerja guru belum mampu
memperbaiki mutu murid, yang bersangkutan wajib menempuh pelatihan ulang atau
pendidikan tambahan.
Secara
garis besar ada tiga macam sebab runtuhnya citra pendidikan di Indonesia:
1)
Pertama: Tidak percaya diri, sikap yang kurang baik ini telah melumpuhkan
seluruh civitas akademika pendidikan di Indonesia. ia tidak hanya menngerogoti
para murid, guru sebagai pelopor pendidikan juga telah terjangkiti, kepala
sekolah sebagai ujung tombak dalam sebuah lembaga pendidikan tidak luput dari
penyakit yang mematikan kreatifitas tersebut.
Cerita
contek-menyontek ketika ujian berlangsung, seorang pendidik membagikan kunci
jawaban kepada murid yang sedang melakukan ujian, kepala sekolah yang memiliki
tim khusus dalam program lulus 100% sekolah yang ia pimpin. Cerita di atas
adalah kisah yang sering dilakoni oleh pemilik mental tidak percaya diri.
Thantaway dalam
Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling menyebutkan tidak percaya diri adalah
mental diri seseorang yang tidak mampu meyakini kekuatan pada dirinya untuk
melakukan kegiatan. Akhirnya, orang yang memiliki mental tidak percaya diri
akan menutup diri karena tidak percaya pada kemampuan yang ia miliki serta
memiliki konsep diri yang negatif lainnya, (Thantaway, 2005:87)
Banyak
beredarnya kunci jawaban ketika UN berlangsung, SMS salah kirim dari teman yang
berisi kunci jawaban ujian, longgarnya pengawasan untuk aksi contek-menyontek
ketika ujian berlangsung. Semua cerita di atas sungguh menggiurkan para pemilik
mental tidak percaya diri. Namun, bagi mereka yang percaya akan kemampuan
mereka sendiri tidak akan terusik oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung
jawab tersebut. Bagi mereka, apapun hasil yang akan diperoleh kejujuran dan
rasa percaya diri yang mesti dibanggakan.
2)
Kedua: Penyakit ijazah, banyak masyarakat di Indonesia begitu mendewakan
selembar ijazah. Bagi mereka ijazah adalah segalanya, tanpa ijazah seseorang
tidak akan memiliki pekerjaan yang layak. Tanpa ijazah seseorang tidak akan
mampu mengumpulkan pundi-pundi harta yang berlipat ganda. Tanpa ijazah
seseorang tidak akan mampu menduduki tahta yang selalu diperebutkan sepanjang
masa.
Rendall Collin
(1979) meyebut penyakit masyarakat yang digambarkan di atas dengan masyarakat
Kredensial (Credential). Paradigma masyarakat kredensial lebih mengacu kepada ijazah
sebagai satu-satunya dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jika ingin
memiliki jabatan yang tinggi maka ijazah yang dimiliki juga harus melebihi
rata-rata orang yang berada perguruan tingi, jika ingin memiliki harta yang
banyak, maka sertifikat dan lisensi juga harus bertumpuk banyak.
Lebih parahnya
lagi, pola pikir yang keliru ini disambut hangat oleh lembaga-lembaga
pendidikan, menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal
menjadikan penyakit gila ijazah ini semakin tumbuh subur. Pada awalnya tuntutan
masyarakat kredensial tidak akan mejadi permasalahan yang menggerogoti mutu
pendidikan Indonesia. Namun, ketika permintaan gelar meningkat secara
drastis, maka kapitalis dan pragmatis akan merenggutnya perlahan-lahan. Idealis
yang pada awalnya terjaga dengan baik harus menerima kenyataan terjatuh ke
lembah pragmatisme. Alhasil, hukum ekonomi pasar yang akan memiliki peran
penting dalam dunia pendidikan.
3)
Ketiga: Pendidikan yang tidak merata, tidak bisa kita pungkiri tingginya
kesenjangan antara pendidikan di kota dengan pendidikan di desa-desa terpencil
begitu mencolok ketika diperhatikan. Pendidik yang mengajar di sekolah-sekolah
kota tentu memiliki daya pikir dan kompetensi yang lebih baik dibandingkan
dengan pendidik yang mengajar di desa. Sarana dan prasarana yang dimiliki
sekolah di desa tentu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan lengkapnya
sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di kota.
Secara gamblang
Andrea Hirata pernah menceritakan kesenjangan sekolah-sekolah di Indonesia
dalam buku Laskar Pelangi yang fenomenal tersebut. Sekolah Muhammadiah Laskar
Pelangi yang ia tempati ketika sekolah dasar sunguh jauh berbeda dengan sekolah
PN Timah Belitong.
D.
Masa Depan
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan
kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan
dan dimanapun dia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa
pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan
demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang
berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan
moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang
kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu
mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan
kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral
tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan
bukannya perpecahan.
Mempertimbangkan
pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati
seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap
merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan
sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan
oleh lembaga pendidikan formal, yaitu:
1)
learning to know (belajar untuk mengetahui)
2)
learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk
terampil dalam melakukan sesuatu
3)
learning to be (belajar untuk menjadi seseorang)
4)
learning to live
together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka
merealisasikan ‘learning to know’, Guru berfungsi sebagai fasilitator.
Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog
dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk
melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk
mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya.
Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh
berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat
digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan
daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan
seseorang.
Pendidikan yang
diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah
tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus
sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Learning to be (belajar untuk menjadi
seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan
kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang
agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup
luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru
sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan
diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup
bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give),
perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning
to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan
pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan
global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama
agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal
tersebut.
Dengan demikian,
tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan
kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan
moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia
Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di
masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan
merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang
perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap
dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta
perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, dikaji
lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan,
yaitu:
1)
Bagaimana kondisi
gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi
pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan)
2)
Bagaimana kurikulum
disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?
3)
Bagaimana bahan belajar
yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku
pelajaran)
4)
Apa saja yang dirujuk
sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?
5)
Bagaimana kondisi
prasarana belajar yang ada?
6)
Adakah sarana pendukung
belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah,
jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi)
7)
Bagaimana kondisi iklim
belajar yang ada saat ini?
Mutu pendidikan dapat
ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan
yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum
pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal,
menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan
mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat
dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain
pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga
swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi
politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah,
situs internet, dan sanggar belajar.
Gonjang-ganjing
pendidikan Indonesia masih terus berlanjut. Salah satunya tentang keputusan
penerapan kembali Kurikulum 2006 atau tetap memakai Kurikulum 2013. Pendidikan
seharusnya menjadi instrumen yang menghilangkan belenggu kebodohan pada anak
bangsa. Namun nyatanya, pengelolaan pendidikan nasional hari ini masih berkutat
dengan menetapkan kurikulum apa yang paling ideal. Hal yang perlu menjadi
pertanyaan adalah, apakah faktor pergantian menteri memengaruhi cara pandang
pendidikan di Indonesia? Seharusnya, ada pola sinergi dengan pemerintahan
sebelumnya.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Rasyid Baswedan menarik kurikulum 2013 di
sejumlah sekolah yang dinilai belum siap menerapkannya. Kebijakan ini akan
berlaku mulai semester genap 2014/2015. Peraturan Menteri Nomor 159 Tahun 2014
menginstruksikan bahwa penerapan Kurikulum 2013 di seluruh sekolah Tanah Air
pada bulan Juli 2014. Sementara itu, penarikan untuk evaluasi baru dibuat 14
Oktober 2014. Dengan waktu yang singkat itu, pemerintah baru segera memutuskan
dan mencabut Kurikulum 2013. Apakah hal ini sudah dikaji dengan matang? Baru
saja diterapkan satu semester, pemerintah seharusnya bisa membuat evaluasi.
Tetapi, pemerintah justru segera menyetop penerapannya. Terlalu buru-buru.
Apa
karena menterinya berbeda, maka kurikulumnya juga harus beda? Apa karena ingin
mengukir popularitas, reputasi dan pencitraan melalui berbagai kebijakan?
Masa
depan pendidikan kita harus menjadi perhatian betul. Pemerintah seharusnya mengedepankan
sarana dan prasarana, fasilitas hingga kapasitas tenaga pengajar. Agar
pendidikan kita dapat bersaing, maka perlakuan antara kota besar dan kota kecil
pun tidak bisa disamaratakan.
Menurut
Dale kontrol negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama,
sistem pendidkan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan
sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga,
penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat,
reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam
konteks tertentu.
Dale
menambahkan bahwa perangkat negara dalam bidang pendidikan, seperti sekolah dan
administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan
praktik pendidikan. Dalam sejarah perpolitikan Islam pun, pendidikan juga erat
kaitannya dengan politik. Hal tersebut nampak dalam bagaimana usaha negara
menjadikan lembaga pendidikan dalam hal ini madrasah dan mesjid sebagai salah
satu media konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan
madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa Islam dapat
dilihat dalam sejarah mengajarkan ideologi dan mazhab tertentu. Di lain pihak,
ketergantungan pada aluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat
lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.
Bagaimana
dengan perjalanan sejarah politik dan pendidikan di Indonesia? secara sederhana
bisa dibagi kedalam beberapa fase, pertama, fase pra kemerdekaan; pada
fase ini lebih ditekankan pada penanaman nilai agama dan budaya kultur asli
nusantara, pada fase ini banyak diisi dan dikontrol oleh pemuka adat dan tokoh
agama. Kedua, fase
perjuangan dan kemerdekaan. Pada fase ini penyelenggaraan pendidikan di tanah
air diwarnai oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan
pemerintahan kolonial baik Belanda dan Jepang dengan aktivitas pendidikan
kaum pribumi. Di satu pihak, pemerintah kolonial berusaha menempuh segala cara
untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan
kepentingan kolonialisme dan mencetak para pekerja yang dapat diekploitasi
untuk mendukung misi sosial, politik, dan ekonomi pemerintah kolonial.
Ketiga, fase
pasca kemerdekaan atau Orde Lama. Pada fase ini pendidikan lebih diorientasikan
pada penguatan character building, nasionalisme,
pembangunan fondasi ideologi negara dan pada fase ini dkontrol oleh para tokoh
nasionalis. Keempat, fase Orde Baru, fase ini
pendidikan ditempatkan sebagai instrument percepatan pembangunan ekonomi negara
dan Kelima, fase
orde reformasi yang kurang lebih sudah berjalan selama 15 tahun fase ini
pendidikan diorientasikan untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi global dan
semangat disentralisasi, sehingga muatan materi dan sistem pendidikan
menekankan pada penguatan potensi local wisdom daerah setempat. Fase
ini pendidikan belum menemukan sistem yang pas dan masih berusaha menemukan
bentuk.
Saat
ini kondisi pendidikan kita masih jauh tertinggal dari negara lain, baik dari
sisi hasil kualitas out put lulusan, pengelolaan dan sistemnya. Berbagai
masalah masalah timbul tiada akhir. Kisruh UN, transparansi dan korupsi dana
pendidikan, merosotnya moral pelajar dan pengelola pendidikan, kurikulum yang
masih mencari bentuk dan kasus terupdate terakhir kontroversi keberadaan
sekolah-sekolah internasional yang dianggap tidak sejalan dengan semangat
kebangsaan dan cenderung eksklusif.
Untuk bisa mengikuti
perkembangan zaman dengan baik, maka dari itu pendidikan masa depan setidaknya
memiliki ciri, sebagai berikut :
1.
Peserta didik secara
aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya.
2.
Peserta didik secara aktif
terlibat di dalam mengelola pengetahuannya.
3.
Penguasaan materi dan
juga mengembangkan karakter peserta didik (life-long learning).
4.
Penggunaan
multimedia.
5.
Guru
sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan peserta didik.
6.
Terpadu
dan berkesinambungan.
7.
Menekankan
pada pengembangan pengethuan. Kesalahan menunjukkan proses belajar dan dapat
digunakan sebagai salah satu sumber belajar.
8.
Iklim
yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif.
9.
Peserta
didik dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan.
10.
Penekanan
pada pencapaian target kompetensi dan keterampilan.
11.
Pemanfaatan
berbagai sumber belajar yang ada di sekitar.
Untuk memantapkan ciri pendidikan masa depan yang
diuraikan sebelumnya, maka dengan demikian pendidikan masa depan harus
mengarahkan pembelajarannya terfokus pada beberapa keterampilan yang harus
ditanamkan pada pebelajar. Keterampilan tersebut, antara lain :
1.
Keterampilan Penelitian
2.
Keterampilan Komunikasi
3.
Keterampilan Berpikir
4.
Keterampilan Sosial
5.
Keterampilan Mengatur
diri sendiri
6.
Keterampilan Hidup
Sehingga pada akhir
pembelajaran suatu jenjang pendidikan setiap pebelajar bisa menjadi seperti
yang diungkapkan oleh Ken Kay, President Partnership for 21st Century Skills,
antara lain :
·
Pemikir yang kritis
·
Seorang penyelesai
masalah
·
Seorang innovator
·
Dapat berkomunikasi
secara efektif
·
Dapat berkolaborasi
secara efektif
·
Dapat mengarahkan diri
sendiri
·
Paham akan informasi
dan media
·
Paham
dan sadar akan masalah global
·
Memikirkan kepentingan
umum
·
Terampil dalam
keuangan, ekonomi dan kewirausahaan
E.
Menghadapi
Tantangan Masa Depan dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Dalam
kehidupan bernegara, kualitas sebuah bangsa akan ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia suatu
bangsa, maka akan semakin tinggi pula kualitas bangsa yang bersangkutan.
Disamping secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi positif
terhadap kelangsungan hidup bangsa tersebut dalam percaturan antar bangsa di
dunia. Bagaimana keadaan suatu Negara di masa depan tidak luput dipengaruhi
oleh pelaksanaan pendidikan yang dilakukan. Antara sistem pendidikan di
Indonesia dan pendidikan di negara-negara maju tidak bisa disamakan akan tetapi
negara maju dijadikan sebagai penyemangat karena masing-masing negara mempunyai
kultur yang berbeda. Dengan demikian, pelaksanaan program pendidikan dalam
rangka peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi tuntutan yang tidak bisa di
tawar-tawar.
Seiring
dengan dimasukinya era globalisasi di abad 21, pendidikan semakin urgen dalam
rangka menghadapi tuntutan zaman yang penuh persaingan di semua aspek bidang
kehidupan. Sekarang ini hampir tidak ada celah bagi bangsa yang kualitas sumber
saya manusianya rendah untuk dapat maju dan berkembang. Sebaliknya justru
bangsa tersebut secara perlahan tapi pasti akan tenggelam dari peta percaturan
dunia, seberapapun besarnya jumlah penduduk dan luas yang dimilikinya.
Pendidikan
merupakan sebuah usaha yang berjalan secara terus menurus untuk menjadikan
manusia (masyarakat) mencapai taraf kemakmuran. Pendidikan di Indonesia dilihat
dari segi mutunya masih sangat memprihatinkan.
Pendidikan
cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Pendidikan sistem persekolahan
hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge,
yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah
diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai
upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan
pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal
menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan
pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih
mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan
pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial
yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang
tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Menghadapi
kenyataan di atas, sekaligus sebagai respon terhadap lamban dan kurang
dinamisnya pendidikan di Indonesia, maka upaya peningkatan kualitas dan
relevansi pendidikan nasional dimasa harus dijadikan agenda utama disamping
perbaikan manajemen dan pemerataan pendidikan.
UNESCO
sebagai lembaga yang mengurusi masalah pendidikan di bawah naungan PBB telah
merumuskan empat pilar pendidikan dalam rangka pelaksanaan pendidikan untuk
masa sekarang dan masa depan, pilar tersebut adalah pilar (1) learning to Know
(belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melaku kan
sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu,
(3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live
together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). (5) learn how to learn
(belajar men ggunakan metode yang tepat) dan yang terakhir learning trou gho ut
life (belajar sepanjang hayat).
Tantangan
masa depan bagi Pendidikan menurut Prof Dr Yahya Muhaimin, sedikitnya ada tiga
hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama,
arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih
terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari
kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat
indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan, seperti : ”jalan
pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih berwujud impian. Bahkan hampir bisa dikatakan bahwa yang kita peroleh saat ini bukanlah kemajuan, melainkan “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih berwujud impian. Bahkan hampir bisa dikatakan bahwa yang kita peroleh saat ini bukanlah kemajuan, melainkan “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat
tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang
terjadi di lapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang
mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak
dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum
pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan
bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
MBS.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita di masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita di masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Pada
era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembangan
teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami
keterbukaan yang amat sangat, sehingga umat manusia mengalami mobilitas yang
bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang
tidak putus-putusnya, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan.
Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John
Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.
Pada
dimensi yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru.
Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering
tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi
mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam
kondisi seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya
kreatifitas dan kompetitif.
Selain itu, guna menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya. Yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal.
Selain itu, guna menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya. Yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal.
Hal
yang penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah
terpeliharanya ”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka
sulit bagi kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.
Dan
walaupun kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum
berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya
dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan
yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia
adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme.
Paternalisme
selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme
(sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam
masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong
berlangsungnya kestabilan.
Namun
dalam era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas
harus mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari
nilai samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu inovatif dan kompetitif
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Secara
umum citra pendidikan bila dilihat dari ketersediaan pemerintah dalam memberikan
pelayanan pada masyarakat dinilai tinggi, kecuali untuk pendidikan keluarga dan
pendidikan anak cerdas. Hal ini menunjukkan terdapat sejumlah layanan pendidikan
tertentu yang ketersediaannya masih membutuhkan peningkatan, terutama
pendidikan tinggi teknik, pendidikan tinggi IPA, pendidikan non formal,
pendidikan tinggi non Islam, pendidikan tinggi sosial, pendidikan khusus anak
cacat, pendidikan untuk keluarga dan pendidikan khusus anak cerdas.
Citra
pendidikan bila dilihat dari keterjangkauan masyarakat dalam memperoleh pendidikan
juga dinilai tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat tidak mengalami
kesusahan dalam menjangkau lokasi sekolah baik pada tingkat pendidikan dasar sampai
tinggi. Walaupun begitu masih ada beberapa lokasi yang masih terkendala oleh kondisi
alam, lingkungan dan sarana prasarana penunjang lainnya. Citra pendidikan bila dilihat
dari kualitas pelayanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat juga
mendapat penilaian tinggi. Hal ini menunjukkan citra pendidikan sudah relatif
positif dari aspek kurikulum, kompetensi guru, manajerial kepala sekolah,
sarana prasarana, pembiayaan, evaluasi, dan kompetensi lulusan baik dari aspek
pengetahuan maupun sikap dan karakter.
Citra
pendidikan secara umum jika dilihat dari kesetaraan pelayanan pendidikan oleh masyarakat sudah menunjukkan nilai yang
sangat tinggi. Hal ini menunjukkan kesetaraan pelayanan pendidikan yang tidak
membedakan jenis kelamin, tidak membedakan kaya dan miskin, tidak membedakan
Suku, tidak membedakan agama yang dianut, dan tidak membedakan warna kulit
benar-benar dicitrakan positif oleh masyarakat. Citra pendidikan jika dilihat
dari keterjaminan memperoleh pelayanan pendidikan sudah menunjukkan nilai yang
sangat tinggi. Hal ini menunjukkan keterjaminan masyarakat memperoleh pelayanan
pendidikan telah dicitrakan secara positif oleh masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
Gerson,
Richard F , Mengukur Kepuasan Pelanggan.
Jakarta: Seri Panduan Praktis No 17 PPM. 2001.
San
Fransisco: Holt, Rinehart, and Winston, Inc. Parwanto. Citra Pendidikan
Indonesia 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar