Senin, 07 Maret 2016

Citra dan Masa Depan Pendidikan



CITRA DAN MASA DEPAN PENDIDIKAN
OLEH : AJAT ZATNIKA

BAB I
PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang
Pemerintah Republik Indonesia dalam membangun pendidikan di Indonesia berpegang pada salah tujuan bangsa Indonesia yang tertera dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea ke empat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan tujuan yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dalam batang  tubuh  konstitusi  itu diantaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 32, juga mengamanatkan, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional yang terbaru ini diwujudkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam Undang-undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dinyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana  belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan itu harus disadari arti pentingnya, dan direncanakan secara sistematis, agar suasana belajar dan proses pembelajaran berjalan secara optimal. Dengan terbentuknya suasana dan proses pembelajaran tersebut, peserta didik akan aktif mengembangkan potensi sesuai dengan bakat dan minatnya. Melalui berkembangnya potensi peserta didik, mereka akan memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa  dan negara.
Selanjutnya pada pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan  menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui jalur, jenjang dan jenis   pendidikan. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui perserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Terdapat tiga jalur pendidikan yaitu, jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang akan dikembangkan. Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Selanjutnya jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan dan suatu satuan pendidikan. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Jenis pendidikan meliputi, pendidikan umum, kejuruan, vokasi, profesional, akademik, keagamaan dan khusus. Upaya mencapai setiap tujuan pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis dilakukan secara terarah, bertahap dan berkesinambungan. Terarah berarti setiap program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan, diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bertahap, berarti pencapaian tujuan dan pelaksanaan program-program pendidikan dilakukan secara bertahap dalam rentang waktu lima tahunan. Berkesinambungan berarti terdapat keterkaitan yang bersifat maju berkelanjutan antara satu tahup dengan tahap berikutnya. Dalam rangka memberikan peta jalan dalam pengelolaan pendidikan, Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan telah menyusun rencana pembangunan jangka panjang, sampai dengan tahun 2025, dengan Visi “menghasilkan insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (insan kamil/Insan  paripurna)”. Insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Berdasarkan visi tersebut, maka sistem, organisasi dan berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya yang lain perlu dikelola secara optimal, agar dapat berfungsi secara optimal untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan. Pelayanan yang berkualitas adalah apabila dapat memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan dari konsumen atas pelayanan tersebut atau “good service quality as meeting or exceeding what customers expect from the service”. Dengan pelayanan yang berkualitas dalam berbagai komponen pendidikan, diharapkan akan terbangun image atau citra pendidikan nasional yang lebih baik.
Berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan telah ditetapkan dan diimplementasikan, dengan harapan kualitas pendidikan dapat berangsur-angsur meningkat pada gradasi yang tinggi. The Education for All Development Index (EDI) atau Indeks Pendidikan untuk Semua menunjukkan Indonesia menempati peringkat 64 dari 120 negara tahun 2012. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan yang baik dari peringkat 69 dari 127 negara pada tahun 2011. Guna lebih meningkatkan indeks tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan berbagai upaya. Di antaranya adalah terus melanjutkan sosialisasi program kegiatan melalui koordinasi nasional: penyempurnaan Forum Koordinasi Nasional (Forkonas); penyusunan, penerbitan, dan penyebarluasan naskah best practice dan naskah laporan EDI tingkat provinsi dan nasional; dan kegiatan lainnya yang relevan.
Dengan meningkatnya indek pendidikan untuk semua (The Education for All Development Index (EDI) diharapkan kepuasan masyarakat dalam memperoleh pendidikan akan meningkat, dengan demikian citra pendidikan nasional di mata masyarakat juga akan meningkat. Namun sampai saat citra pendidikan nasional di mata masyarakat belum diketahui secara pasti, oleh karena itu pada kesempatan ini akan dilakukan untuk mengetahui bagaimana citra pendidikan nasional di mata masyarakat.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah citra pendidikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia?
2.      Bagaimanakah masa depan pendidikan di Indonesia?

C.      T ujuan Penyajian Makalah
Secara umum tujuan penyajian makalah ini adalah untuk mengetahui citra/image  masyarakat terhadap pendidikan nasional. Sedangkan secara khusus tujuan dari penyajian makalah ini adalah untuk memperoleh informasi tentang:
1.      Citra pendidikan yang dinilai dari kualitas pendidikan di Indonesia.
2.      Masa depan pendidikan Indonesia untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.


























BAB II
CITRA DAN MASA DEPAN PENDIDIKAN


A.      Teori Citra Pendidikan
Kementerian  Pendidikan  dan  Kebudayaan sebagai  salah  satu  organisasi  sektor  publik, mempunyai tugas  dan  fungsi  mengkoordinasikan kegiatan  pendidikan.  Oleh  karena  itu,  sudah selayaknya    meningkatkan    kinerjanya    dalam memberikan  layanan  yang  memuaskan  terhadap salah  satu  customer.  Dalam  jangka  panjang strategi  penguatan  pelayanan  ini  merupakan acuan  peralihan  fokus  atau  penekanan  dari pembangunan  aspek  kuantitas  kepada  aspek kualitas.  Didampingi  akses  pendidikan  yang semakin  mudah  dan  akuntabilitas  publik  yang semakin  transparan,  mutu  layanan  pendidikan  ini akan  menciptakan  para  penggerak  pembangunan menuju  visi  negara  dan  bangsa  Indonesia  yang aman,  adil, dan sejahtera. Selanjutnya  lebih  diperjelas  bahwa  manajemen pelayanan  pendidikan  bertujuan  diantaranya untuk  meningkatkan  kapasitas  lembaga-lembaga di pusat dan daerah, mengembangkan dan menerapkan sistem  pengawasan  pembangunan pendidikan serta menyempurnakan  manajemen pendidikan  dengan meningkatkan otonomi satuan pendidikan dan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada pengelola pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan efisien.
Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu. Citra merupakan persepsi yang terbentuk dalam benak manusia. Pembentukan persepsi manusia menurut K. Sereno & Edward M Bodaken yang dikutip dari buku “Ilmu Komunikasi  suatu  pengantar”, Deddy Mulyana, terdiri dari tiga aktivitas yaitu seleksi, organisasi & intepretasi. Seleksi yang dimaksudkan adalah sensasi dan atensi terhadap stimulus (fisik & psikologis) yang ditangkap oleh indra manusia, kemudian diorganisasikan atau digabungkan dengan stimulus pengetahuan serta pengalaman masa lalu. Penggabungan itu lalu diintepretasikan maknanya.

B.       Proses Pembentukan Citra
Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengetiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk mengetahui citra seseorang terhadap objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon dalam Rakhmat menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori dan sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pemebntukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan.
Berdasarkan pemahaman mengenai pembentukan persepsi atau pencitraan, maka seringkali pembentukan citra lebih bersifat subyektif dan tidak sesuai dengan realitas yang  ada. Oleh karena itu, banyak organisasi kemudian tidak cukup menjalankan program komunikasinya untuk pembentukan citra, melainkan lebih kepada pembentukan reputasi organisasi. Reputasi yang berasal dari kata bahasa Inggris Reputation memiliki arti nama baik. Tujuan program komunikasi PR pada akhirnya tidak hanya membangun atau menciptakan image/citra positif namun juga membangun kepercayaan terhadap public sehingga mereka percaya dengan apa yang dilakukan organisasi adalah yang terbaik dan mengharumkan namanya. Reputasi pada akhirnya dibentuk dari pembuktian yang kuat mengenai apa yang dilakukan organisasi adalah memberikan yang terbaik bagi publik sasarannya.

C.      Citra Pendidikan di Indonesia
Citra pendidikan Indonesia bagi banyak pengkaji dan pengamat pendidikan hampir selalu selalu tidak positif. Citra negatif itu sebenarnya sudah sangat diketahui publik dalam waktu relatif panjang. Tetap saja belum ada perbaikan citra itu secara substantif meski berbagai upaya juga dilakukan pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenag.
Salah satu sebab kegagalan menumbuhkan citra lebih positif melalui peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah dalam berbagai seginya adalah kebijakan yang selalu berubah-ubah, tidak konsisten, ad hoc, parsial dan remeh temeh. Hal ini paling mendasar antara lain terlihat misalnya dalam soal kurikulum yang sering disebut sebagai‘ganti menteri, ganti kurikulum’.
Tanpa melalui penelitian mendalam yang bisa dipertanggungjawabkan, kurikulum demi kurikulum diterapkan Kemendikbud. Lihatlah, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai diterapkan pada 2004 diganti dengan Kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) yang kemudian diganti lagi dengan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 yang menghabiskan dana triliunan rupiah untuk sosialisasi, pelatihan guru dan pengadaan buku teks boleh jadi pula diganti Mendikbud baru dalam Kabinet pasca-Pilpres 2014 nanti. Karena itu seharusnya dilakukan kajian mendalam tentang kurikulum yang tengah berlaku. Sebaiknya cukup memperbaiki dan menyempurnakannya daripada menggantinya dengan kurikulum baru.
Akibat berbagai kebijakan seperti itu, yang menjadi ‘korban’ terutama adalah para guru dan tentu saja juga para murid dan orangtua. Guru khususnya kian menjadi sasaran kritik masyarakat sebagai tidak berhasil mencerdaskan dan membentuk karakter murid-muridnya. Mereka menjadi ‘kambing hitam’ kegagalan peningkatan mutu pendidikan Indonesia.
Terlepas dari soal ‘kambing hitam’, mutu guru Indonesia memang masih merupakan salah satu masalah pokok pendidikan dasar dan menengah Indonesia. Sertifikasi guru yang pertama kali diselenggarakan sejak 2004 tidak banyak berhasil meningkatkan kualitas guru. Peneliti seperti Fahmi, Maulana dan Yusuf (2011) dan Bjork (2012) tidak menemukan bukti sertifikasi berhasil meningkatkan mutu dan kinerja guru maupun kinerja murid. Sami mawon, penelitian lebih akhir oleh De Ree dkk (2012) dan Suryahadi & Sambodho, menemukan, sertifikasi tidak berhasil meningkatkan hasil pembelajaran di 360 SDN dan SMPN. Tetapi mereka menemukan, peningkatan pendapatan guru berkat tunjangan sertifikasi berhasil mengurangi kecenderungan guru mencari pekerjaan sampingan untuk tambahan pendapatan; dengan demikian sedikit banyak mengurangi kesulitan keuangan mereka.
Kenapa sertifikasi tidak atau belum berhasil? Kegagalan itu terkait banyak dengan kenyataan proses pembelajaran murid bagi banyak guru lebih merupakan kerutinan belaka. Para guru umumnya hanya mengulang-ulang pelajaran dari buku teks, memberikan PR, melakukan tes penguasaan materi, dan kemudian memberi laporan kinerja murid kepada orangtua atau wali murid.
Bisa dibayangkan, dalam kerutinan itu hampir tidak ada imajinasi dan kreativitas menyelenggarakan proses pembelajaran lebih efektif. Kenyataan ini terkait pula dengan budaya rikuh melakukan terobosan karena para guru berhadapan dengan kepala sekolah, pengawas, dan Dinas Pendidikan yang hampir tidak menyisakan ruang gerak dan otonomi bagi mereka.
Kelangkaan imajinasi dan kreativitas guru banyak terkait dengan proses pembelajaran yang mereka terima sebelumnya dari LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) seperti IKIP (yang kini sebagian besar menjadi Universitas) dan Fakultas atau Prodi Tarbiyah di lingkungan UIN, IAIN atau STAIN. Bukan rahasia lagi, proses pembelajaran mahasiswa atau calon guru di LPTK tidak mendorong tumbuhnya imajinasi dan kreativitas.Merekamenghabiskan banyak waktu dalam matakuliah teknis keguruan daripada matakuliah lebih substantif.
Walhasil ketika menjadi guru, mereka pun juga tidak memiliki imajinasi dan kreativitas. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelesaikan tugas pembelajaran seperti yang telah ditetapkan sesuai silabus. Tidak menjadi masalah bagi mereka apakah pembelajaran itu berhasil meningkatkan mutu murid atau tidak.
Jelas, masa depan pendidikan dasar dan menengah Indonesia tidak bisa hanya sekedar rutinitas. Pembenahan mesti bermula dari peningkatan kualitas guru melalui reformasi LPTK sehingga dapat melahirkan (calon-calon) guru yang tidak hanya ahli dalam teknis keguruan, tetapi juga menguasai substansi ilmu yang diajarkan. Pada saat yang sama, LPTK hendaknya memberikan ruang bagi tumbuhnya kreativitas dan imajinasi mereka.
Kelak ketika mereka menjadi guru, perlu pelatihan reguler baik sebelum bertugas maupun setelah beberapa tahun bertugas (_pre-servirce dan in-service trainings). Sepatutnya dihindari program pelatihan ad hoc  yang pada gilirannya berubah hanya sekedar formalitas seperti lazim terjadi pada program untuk mendapatkan sertifikasi guru.
Selain itu, perlu perbaikan sisstem penilaian kinerja guru. Sekali lagi, penilaian semestinya tidak bersifat sementara dan parsial, tetapi kontinu dan berkesinambungan. Jika dalam penilaian tersebut kinerja guru belum mampu memperbaiki mutu murid, yang bersangkutan wajib menempuh pelatihan ulang atau pendidikan tambahan.
Secara garis besar ada tiga macam sebab runtuhnya citra pendidikan di Indonesia:
1)        Pertama: Tidak percaya diri, sikap yang kurang baik ini telah melumpuhkan seluruh civitas akademika pendidikan di Indonesia. ia tidak hanya menngerogoti para murid, guru sebagai pelopor pendidikan juga telah terjangkiti, kepala sekolah sebagai ujung tombak dalam sebuah lembaga pendidikan tidak luput dari penyakit yang mematikan kreatifitas tersebut.
Cerita contek-menyontek ketika ujian berlangsung, seorang pendidik membagikan kunci jawaban kepada murid yang sedang melakukan ujian, kepala sekolah yang memiliki tim khusus dalam program lulus 100% sekolah yang ia pimpin. Cerita di atas adalah kisah yang sering dilakoni oleh pemilik mental tidak percaya diri.
Thantaway dalam Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling menyebutkan tidak percaya diri adalah mental diri seseorang yang tidak mampu meyakini kekuatan pada dirinya untuk melakukan kegiatan. Akhirnya, orang yang memiliki mental tidak percaya diri akan menutup diri karena tidak percaya pada kemampuan yang ia miliki serta memiliki konsep diri yang negatif lainnya, (Thantaway, 2005:87)
Banyak beredarnya kunci jawaban ketika UN berlangsung, SMS salah kirim dari teman yang berisi kunci jawaban ujian, longgarnya pengawasan untuk aksi contek-menyontek ketika ujian berlangsung. Semua cerita di atas sungguh menggiurkan para pemilik mental tidak percaya diri. Namun, bagi mereka yang percaya akan kemampuan mereka sendiri tidak akan terusik oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut. Bagi mereka, apapun hasil yang akan diperoleh kejujuran dan rasa percaya diri yang mesti dibanggakan.
2)        Kedua: Penyakit ijazah, banyak masyarakat di Indonesia begitu mendewakan selembar ijazah. Bagi mereka ijazah adalah segalanya, tanpa ijazah seseorang tidak akan memiliki pekerjaan yang layak. Tanpa ijazah seseorang tidak akan mampu mengumpulkan pundi-pundi harta yang berlipat ganda. Tanpa ijazah seseorang tidak akan mampu menduduki tahta yang selalu diperebutkan sepanjang masa.
Rendall Collin (1979) meyebut penyakit masyarakat yang digambarkan di atas dengan masyarakat Kredensial (Credential). Paradigma masyarakat kredensial lebih mengacu kepada ijazah sebagai satu-satunya dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jika ingin memiliki jabatan yang tinggi maka ijazah yang dimiliki juga harus melebihi rata-rata orang yang berada perguruan tingi, jika ingin memiliki harta yang banyak, maka sertifikat dan lisensi juga harus bertumpuk banyak.
Lebih parahnya lagi, pola pikir yang keliru ini disambut hangat oleh lembaga-lembaga pendidikan, menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal menjadikan penyakit gila ijazah ini semakin tumbuh subur. Pada awalnya tuntutan masyarakat kredensial tidak akan mejadi permasalahan yang menggerogoti mutu pendidikan  Indonesia. Namun, ketika permintaan gelar meningkat secara drastis, maka kapitalis dan pragmatis akan merenggutnya perlahan-lahan. Idealis yang pada awalnya terjaga dengan baik harus menerima kenyataan terjatuh ke lembah pragmatisme. Alhasil, hukum ekonomi pasar yang akan memiliki peran penting dalam dunia pendidikan.
3)        Ketiga: Pendidikan yang tidak merata, tidak bisa kita pungkiri tingginya kesenjangan antara pendidikan di kota dengan pendidikan di desa-desa terpencil begitu mencolok ketika diperhatikan. Pendidik yang mengajar di sekolah-sekolah kota tentu memiliki daya pikir dan kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan pendidik yang mengajar di desa. Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di desa tentu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan lengkapnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah di kota.
Secara gamblang Andrea Hirata pernah menceritakan kesenjangan sekolah-sekolah di Indonesia dalam buku Laskar Pelangi yang fenomenal tersebut. Sekolah Muhammadiah Laskar Pelangi yang ia tempati ketika sekolah dasar sunguh jauh berbeda dengan sekolah PN Timah Belitong.

D.      Masa Depan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun dia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu:
1)        learning to know (belajar untuk mengetahui)
2)        learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu
3)        learning to be (belajar untuk menjadi seseorang)
4)        learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan ‘learning to know’, Guru berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
1)        Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan)
2)        Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?
3)        Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran)
4)        Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?
5)        Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?
6)        Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi)
7)        Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.
Gonjang-ganjing pendidikan Indonesia masih terus berlanjut. Salah satunya tentang keputusan penerapan kembali Kurikulum 2006 atau tetap memakai Kurikulum 2013. Pendidikan seharusnya menjadi instrumen yang menghilangkan belenggu kebodohan pada anak bangsa. Namun nyatanya, pengelolaan pendidikan nasional hari ini masih berkutat dengan menetapkan kurikulum apa yang paling ideal. Hal yang perlu menjadi pertanyaan adalah, apakah faktor pergantian menteri memengaruhi cara pandang pendidikan di Indonesia? Seharusnya, ada pola sinergi dengan pemerintahan sebelumnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Rasyid Baswedan menarik kurikulum 2013 di sejumlah sekolah yang dinilai belum siap menerapkannya. Kebijakan ini akan berlaku mulai semester genap 2014/2015. Peraturan Menteri Nomor 159 Tahun 2014 menginstruksikan bahwa penerapan Kurikulum 2013 di seluruh sekolah Tanah Air pada bulan Juli 2014. Sementara itu, penarikan untuk evaluasi baru dibuat 14 Oktober 2014. Dengan waktu yang singkat itu, pemerintah baru segera memutuskan dan mencabut Kurikulum 2013. Apakah hal ini sudah dikaji dengan matang? Baru saja diterapkan satu semester, pemerintah seharusnya bisa membuat evaluasi. Tetapi, pemerintah justru segera menyetop penerapannya. Terlalu buru-buru.
Apa karena menterinya berbeda, maka kurikulumnya juga harus beda? Apa karena ingin mengukir popularitas, reputasi dan pencitraan melalui berbagai kebijakan?
Masa depan pendidikan kita harus menjadi perhatian betul. Pemerintah seharusnya mengedepankan sarana dan prasarana, fasilitas hingga kapasitas tenaga pengajar. Agar pendidikan kita dapat bersaing, maka perlakuan antara kota besar dan kota kecil pun tidak bisa disamaratakan.
Menurut Dale kontrol negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, sistem pendidkan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam konteks tertentu.
Dale menambahkan bahwa perangkat negara dalam bidang pendidikan, seperti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan praktik pendidikan. Dalam sejarah perpolitikan Islam pun, pendidikan juga erat kaitannya dengan politik. Hal tersebut nampak dalam bagaimana usaha negara menjadikan lembaga pendidikan dalam hal ini madrasah dan mesjid sebagai salah satu media konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa Islam dapat dilihat dalam sejarah mengajarkan ideologi dan mazhab tertentu. Di lain pihak, ketergantungan pada aluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.
Bagaimana dengan perjalanan sejarah politik dan pendidikan di Indonesia? secara sederhana bisa dibagi kedalam beberapa fase, pertama, fase pra kemerdekaan; pada fase ini lebih ditekankan pada penanaman nilai agama dan budaya kultur asli nusantara, pada fase ini banyak diisi dan dikontrol oleh pemuka adat dan tokoh agama. Kedua, fase perjuangan dan kemerdekaan. Pada fase ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air diwarnai oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan pemerintahan kolonial baik Belanda dan Jepang  dengan aktivitas pendidikan kaum pribumi. Di satu pihak, pemerintah kolonial berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme dan mencetak para pekerja yang dapat diekploitasi untuk mendukung misi sosial, politik, dan ekonomi pemerintah kolonial.
Ketiga, fase pasca kemerdekaan atau Orde Lama. Pada fase ini pendidikan lebih diorientasikan pada penguatan character building, nasionalisme, pembangunan fondasi ideologi negara dan pada fase ini dkontrol oleh para tokoh nasionalis. Keempat, fase Orde Baru, fase ini pendidikan ditempatkan sebagai instrument percepatan pembangunan ekonomi negara dan Kelima, fase orde reformasi yang kurang lebih sudah berjalan selama 15 tahun fase ini pendidikan diorientasikan untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi global dan semangat disentralisasi, sehingga muatan materi dan sistem pendidikan menekankan pada penguatan potensi local wisdom daerah setempat. Fase ini pendidikan belum menemukan sistem yang pas dan masih berusaha menemukan bentuk.
Saat ini kondisi pendidikan kita masih jauh tertinggal dari negara lain, baik dari sisi hasil kualitas out put lulusan, pengelolaan dan sistemnya. Berbagai masalah masalah timbul tiada akhir. Kisruh UN, transparansi dan korupsi dana pendidikan, merosotnya moral pelajar dan pengelola pendidikan, kurikulum yang masih mencari bentuk dan kasus terupdate terakhir kontroversi keberadaan sekolah-sekolah internasional yang dianggap tidak sejalan dengan semangat kebangsaan dan cenderung eksklusif.
Untuk bisa mengikuti perkembangan zaman dengan baik, maka dari itu pendidikan masa depan setidaknya memiliki ciri, sebagai berikut :
1.         Peserta didik secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya.
2.         Peserta didik secara aktif terlibat di dalam mengelola pengetahuannya.
3.         Penguasaan materi dan juga mengembangkan karakter peserta didik (life-long learning).
4.         Penggunaan multimedia.
5.         Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan peserta didik.
6.         Terpadu dan berkesinambungan.
7.         Menekankan pada pengembangan pengethuan. Kesalahan menunjukkan proses belajar dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar.
8.         Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif.
9.         Peserta didik dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan.
10.     Penekanan pada pencapaian target kompetensi dan keterampilan.
11.     Pemanfaatan berbagai sumber belajar yang ada di sekitar.
Untuk memantapkan ciri pendidikan masa depan yang diuraikan sebelumnya, maka dengan demikian pendidikan masa depan harus mengarahkan pembelajarannya terfokus pada beberapa keterampilan yang harus ditanamkan pada pebelajar. Keterampilan tersebut, antara lain :
1.         Keterampilan Penelitian
2.         Keterampilan Komunikasi
3.         Keterampilan Berpikir
4.         Keterampilan Sosial
5.         Keterampilan Mengatur diri sendiri
6.         Keterampilan Hidup
Sehingga pada akhir pembelajaran suatu jenjang pendidikan setiap pebelajar bisa menjadi seperti yang diungkapkan oleh Ken Kay, President Partnership for 21st Century Skills, antara lain :
·           Pemikir yang kritis
·           Seorang penyelesai masalah
·           Seorang innovator
·           Dapat berkomunikasi secara efektif
·           Dapat berkolaborasi secara efektif
·           Dapat mengarahkan diri sendiri
·           Paham akan informasi dan media
·           Paham dan sadar akan masalah global
·           Memikirkan kepentingan umum
·           Terampil dalam keuangan, ekonomi dan kewirausahaan

E.       Menghadapi Tantangan Masa Depan dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Dalam kehidupan bernegara, kualitas sebuah bangsa akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, maka akan semakin tinggi pula kualitas bangsa yang bersangkutan. Disamping secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi positif terhadap kelangsungan hidup bangsa tersebut dalam percaturan antar bangsa di dunia. Bagaimana keadaan suatu Negara di masa depan tidak luput dipengaruhi oleh pelaksanaan pendidikan yang dilakukan. Antara sistem pendidikan di Indonesia dan pendidikan di negara-negara maju tidak bisa disamakan akan tetapi negara maju dijadikan sebagai penyemangat karena masing-masing negara mempunyai kultur yang berbeda. Dengan demikian, pelaksanaan program pendidikan dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar.
Seiring dengan dimasukinya era globalisasi di abad 21, pendidikan semakin urgen dalam rangka menghadapi tuntutan zaman yang penuh persaingan di semua aspek bidang kehidupan. Sekarang ini hampir tidak ada celah bagi bangsa yang kualitas sumber saya manusianya rendah untuk dapat maju dan berkembang. Sebaliknya justru bangsa tersebut secara perlahan tapi pasti akan tenggelam dari peta percaturan dunia, seberapapun besarnya jumlah penduduk dan luas yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan sebuah usaha yang berjalan secara terus menurus untuk menjadikan manusia (masyarakat) mencapai taraf kemakmuran. Pendidikan di Indonesia dilihat dari segi mutunya masih sangat memprihatinkan.
Pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Menghadapi kenyataan di atas, sekaligus sebagai respon terhadap lamban dan kurang dinamisnya pendidikan di Indonesia, maka upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan nasional dimasa harus dijadikan agenda utama disamping perbaikan manajemen dan pemerataan pendidikan.
UNESCO sebagai lembaga yang mengurusi masalah pendidikan di bawah naungan PBB telah merumuskan empat pilar pendidikan dalam rangka pelaksanaan pendidikan untuk masa sekarang dan masa depan, pilar tersebut adalah pilar (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melaku kan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). (5) learn how to learn (belajar men ggunakan metode yang tepat) dan yang terakhir learning trou gho ut life (belajar sepanjang hayat).
Tantangan masa depan bagi Pendidikan menurut Prof Dr Yahya Muhaimin, sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan, seperti : ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih berwujud impian. Bahkan hampir bisa dikatakan bahwa yang kita peroleh saat ini bukanlah kemajuan, melainkan “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi di lapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita di masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Pada era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembangan teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan yang amat sangat, sehingga umat manusia mengalami mobilitas yang bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak putus-putusnya, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan. Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.
Pada dimensi yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam kondisi seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya kreatifitas dan kompetitif.
Selain itu, guna menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya. Yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal.
Hal yang penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah terpeliharanya ”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka sulit bagi kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.
Dan walaupun kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme.
Paternalisme selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme (sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong berlangsungnya kestabilan.
Namun dalam era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas harus mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari nilai samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu inovatif dan kompetitif







BAB III
PENUTUP


A.      Simpulan
Secara umum citra pendidikan bila dilihat dari ketersediaan pemerintah dalam memberikan pelayanan pada masyarakat dinilai tinggi, kecuali untuk pendidikan keluarga dan pendidikan anak cerdas. Hal ini menunjukkan terdapat sejumlah layanan pendidikan tertentu yang ketersediaannya masih membutuhkan peningkatan, terutama pendidikan tinggi teknik, pendidikan tinggi IPA, pendidikan non formal, pendidikan tinggi non Islam, pendidikan tinggi sosial, pendidikan khusus anak cacat, pendidikan untuk keluarga dan pendidikan khusus anak cerdas.
Citra pendidikan bila dilihat dari keterjangkauan masyarakat dalam memperoleh pendidikan juga dinilai tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat tidak mengalami kesusahan dalam menjangkau lokasi sekolah baik pada tingkat pendidikan dasar sampai tinggi. Walaupun begitu masih ada beberapa lokasi yang masih terkendala oleh kondisi alam, lingkungan dan sarana prasarana penunjang lainnya. Citra pendidikan bila dilihat dari kualitas pelayanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat juga mendapat penilaian tinggi. Hal ini menunjukkan citra pendidikan sudah relatif positif dari aspek kurikulum, kompetensi guru, manajerial kepala sekolah, sarana prasarana, pembiayaan, evaluasi, dan kompetensi lulusan baik dari aspek pengetahuan maupun sikap dan karakter.
Citra pendidikan secara umum jika dilihat dari kesetaraan pelayanan pendidikan oleh  masyarakat sudah menunjukkan nilai yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan kesetaraan pelayanan pendidikan yang tidak membedakan jenis kelamin, tidak membedakan kaya dan miskin, tidak membedakan Suku, tidak membedakan agama yang dianut, dan tidak membedakan warna kulit benar-benar dicitrakan positif oleh masyarakat. Citra pendidikan jika dilihat dari keterjaminan memperoleh pelayanan pendidikan sudah menunjukkan nilai yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan keterjaminan masyarakat memperoleh pelayanan pendidikan telah dicitrakan secara positif oleh masyarakat.














DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, Suharsimi. Manajemen  Penelitian. Jakarta: Rineka  Cipta, 1993.
Gerson, Richard F , Mengukur Kepuasan Pelanggan.  Jakarta: Seri Panduan Praktis No 17 PPM. 2001.
San Fransisco: Holt, Rinehart, and Winston, Inc. Parwanto. Citra Pendidikan Indonesia 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar