Oleh : Ajat Zatnika
Anggaran daerah hakikatnya merupakan salah satu
alat untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan
otonomi daerah. Di dalam APBD tergambar arah dan tujuan pelayanan dan
pembangunan dalam kurun satu tahun anggaran, yang menggambarkan apa yang akan
dilakukan oleh pemerintah dalam satu tahun. Atas dasar itulah, APBD harus
disusun dengan mengacu pada norma dan prinsip anggaran : Transparan dan Akuntabel;
Disiplin Anggaran (efisien, tepat guna, tepat waktu dan dapat
dipertanggungjawabkan); Keadilan Anggaran (penggunaannya harus dialokasikan
secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat); Efisien dan Efektif
(harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan bagi masyarakat).
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah yang paling penting dan
konkret karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Anggaran
daerah merupakan bentuk operasional dari kebijakan pemerintah untuk
menyelenggarakan pembangunan di daerah. Tanpa APBD, pemerintah tidak mungkin
bisa melaksanakan kebijakan pembangunan yang indah-indah itu, baik yang
tercermin dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten
Sukabumi sesuai Perda No. 13 tahun 2009, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Kabupaten Sukabumi sesuai Perda No. 11 tahun 2010, Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Sukabumi tahun 2015 dan Renstra SKPD / OPD,
yang selanjutnya dijadikan rujukan dalam merumuskan APBD Kabupaten Sukabumi
Tahun 2015.
Siklus tahunan APBD diawali dengan Musrenbang yang
merupakan tahap awal untuk menyusun rencana pembangunan. Musrenbang sebagai arena pelibatan masyarakat dalam
proses perencanaan pembangunan telah menjadi kebijakan Nasional dengan payung
UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, serta berbagai turunan aturan
yang lebih detailnya yaitu PP No. 8 Tahun 2008 dan Permendagri No. 54 tahun
2010.
Anggaran daerah yang tertuang
dalam APBD merupakan anggaran rakyat,
karena semua anggaran negara maupun daerah bersumber dari rakyat, untuk itu dalam pengalokasiannya pun harus berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Prioritas kebijakan APBD dalam akselerasi penanggulangan kemiskinan pada
dasarnya amanah kebijakan perencanaan daerah yang tertuang dalam Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) setiap tahunnya. Indikator keberhasilan kebijakan APBD
hanya dapat dikatakan berpihak pada kebutuhan rakyat manakala dalam kebijakan belanjanya mampu mengatasi secara
nyata berbagai persoalan kemiskinan yang ada. Artinya indikator
kinerja APBD dan target capaian yang ditetapkan adalah menurunkan angka
kemiskinan.
Upaya memberdayakan masyarakat dan melawan kemiskinan
harus terus dijadikan agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Sebagaimana
yang tertuang dalam Permendagri No. 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
APBD 2014, bahwa percepatan pengurangan kemiskinan menjadi salah satu agenda
pada RKP Tahun 2014 yang menjadi kewajiban daerah mensinkronisasikan
kebijakannya dengan kebijakan pemerintahan pusat dengan target penurunan angka
kemiskinan nasional menjadi 8,0% - 10,0%. Pembangunan dalam berbagai bidang
harus dilaksanakan dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan kebutuhan
masyarakat, khususnya pemenuhan kebutuhan fisiologis berupa : pangan, papan,
kesehatan dan pendidikan sehingga segenap anggota masyarakat dapat mandiri,
percaya diri, tidak bergantung atau mampu melepaskan dari belenggu struktural
yang menyengsarakan, dan meningkat kesejahteraannya.
APBD Kabupaten Sukabumi pada tahun 2014 nampak
terlihat untuk total belanja sebesar Rp. 2.290.560.169.000,-
mengalami kenaikan sebesar 13,39% dibandingkan total belanja APBD Tahun 2013,
sedangkan total pendapatan sebesar Rp. 2.197.664.578.000,-
mengalami kenaikan sebesar 14,51% dibandingkan total pendapatan tahun 2013,
sehingga terjadi defisit sebesar Rp. 92.895.591.000,-.
Pada komponen pendapatan daerah, APBD Kabupaten
Sukabumi tahun 2014 masih didominasi yang bersumber dari dana perimbangan
sebesar Rp. 1.743.129.965.000,- (sekitar 79,32%) dari total pendapatan daerah,
dengan alokasi DAU sebesar Rp. 1.458.379.433.000,- (83,66% dari total dana
perimbangan). Untuk pendapatan asli daerah (PAD) Tahun 2014 sebesar Rp. 355.346.307.000,-
(16,17% dari total pendapatan daerah), lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
menjadi pendapatan terbesar 45,74% dari total PAD dan yang kedua bersumber dari
pajak daerah sekitar 43,32%.
Untuk komponen belanja daerah, bahwa komposisi
Belanja Tidak Langsung (BTL) sampai saat ini masih pada posisi lebih besar
daripada Belanja Langsung (BL), yaitu BTL sebesar Rp. 1.202.569.702.911,-
(52,50% dari total belanja daerah), sedangkan BL sebesar Rp. 1.087.990.466.089,-
(47,50% dari total belanja daerah). Komposisi ini dianggap mengalami kemajuan
dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2013, perbandingan BTL dan
BL adalah 58,38% BTL dan 41,62% BL.
Diskresi Kabupaten Sukabumi
(Kewenangan/Keleluasaan Daerah dalam mengelola keuangan daerah) pada APBD tahun
2014 sebesar Rp. 1.035.658.169.089 (47,13% dari total Pendapatan Daerah).
Sedangkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kabupaten Sukabumi pada APBD
tahun 2012 sebesar 16,17% hal ini mengindikasikan bahwa Kemampuan Keuangan
Kabupaten Sukabumi masih termasuk kategori sangat
kurang. Adapun Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (KKD) Kabupaten Sukabumi
pada APBD tahun 2012 adalah sebesar 19,29%, hal ini berarti bahwa tingkat
ketergantungan Pemerintah Kabupaten Sukabumi terhadap bantuan pemerintah pusat
dan provinsi masih tinggi.
Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang
baik di daerah, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas merupakan dasar
bagi perubahan yang lebih luas. Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintah
merupakan prasyarat bagi tumbuhnya partisipasi publik dalam berbagai proses
pengambilan keputusan, yang pada akhirnya menyebabkan terciptanya akuntabilitas
pemerintahan. Partisipasi tidak akan berarti banyak jika masyarakat tidak
mendapat akses yang adil untuk memperoleh informasi yang relevan yang
seharusnya mendasari keputusan mereka. Sebaliknya, jika masyarakat mendapatkan
informasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, keputusan ini lebih
dapat dipertanggungjawabkan, dan hak masyarakat atas tranparansi, partisipasi
dan akuntabilitas pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan dapat terpenuhi.
Dengan adanya jaminan hak warga untuk memperoleh
informasi berdasarkan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP) dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor
61. Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan
pribadi dan lingkungan sosialnya. Dalam kontek negara, informasi merupakan
bagian penting bagi ketahanan nasional. Karenanya, UU Keterbukaan Informasi
Publik didasarkan atas Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan Pasal 28 J
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karenanya keterbukaan
informasi publik wajib dilakukan agar kedaulatan rakyat tetap terjunjung dan proses
penyelenggaraan tata pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Disisi lain upaya
penanggulangan kemiskinan tidak akan terlepas dari data kemiskinan yang
dijadikan sebagai dasar pijakan dalam membuat kebijakan, namun persoalan yang
terkait kemiskinan dari mulai data kemiskinan dan penerima manfaat program
kemiskinan belum terselesaikan secara konstruktif. Beberapa persoalan terkait kemiskinan diantaranya : beragamnya data kemiskinan
(masing-masing institusi memiliki data kemiskinan yang berbeda), minimnya pemanfaatan data kemiskinan untuk perencanaan & penganggaran,
ketidaksesuaian & ketidaktepatan penerima manfaat & sasaran
program penanggulangan kemiskinan,
ketersediaan data kemiskinan yang tidak update pertahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar