Senin, 09 Juni 2014

Quo Vadis Anggaran Kab. Sukabumi untuk Kemiskinan



 Oleh : Ajat Zatnika

Anggaran daerah hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Di dalam APBD tergambar arah dan tujuan pelayanan dan pembangunan dalam kurun satu tahun anggaran, yang menggambarkan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam satu tahun. Atas dasar itulah, APBD harus disusun dengan mengacu pada norma dan prinsip anggaran : Transparan dan Akuntabel; Disiplin Anggaran (efisien, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan); Keadilan Anggaran (penggunaannya harus dialokasikan secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat); Efisien dan Efektif (harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat).
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah yang paling penting dan konkret karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Anggaran daerah merupakan bentuk operasional dari kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan di daerah. Tanpa APBD, pemerintah tidak mungkin bisa melaksanakan kebijakan pembangunan yang indah-indah itu, baik yang tercermin dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Sukabumi sesuai Perda No. 13 tahun 2009, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Sukabumi sesuai Perda No. 11 tahun 2010, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Sukabumi tahun 2015 dan Renstra SKPD / OPD, yang selanjutnya dijadikan rujukan dalam merumuskan APBD Kabupaten Sukabumi Tahun 2015.
Siklus tahunan APBD diawali dengan Musrenbang yang merupakan tahap awal untuk menyusun rencana pembangunan. Musrenbang sebagai arena pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan telah menjadi kebijakan Nasional dengan payung UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, serta berbagai turunan aturan yang lebih detailnya yaitu PP No. 8 Tahun 2008 dan Permendagri No. 54 tahun 2010.
Anggaran daerah yang tertuang dalam APBD merupakan anggaran rakyat, karena semua anggaran negara maupun daerah bersumber dari rakyat, untuk itu dalam pengalokasiannya pun harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Prioritas kebijakan APBD dalam akselerasi penanggulangan kemiskinan pada dasarnya amanah kebijakan perencanaan daerah yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) setiap tahunnya. Indikator keberhasilan kebijakan APBD hanya dapat dikatakan berpihak pada kebutuhan rakyat manakala dalam kebijakan belanjanya mampu mengatasi secara nyata berbagai persoalan kemiskinan yang ada. Artinya indikator kinerja APBD dan target capaian yang ditetapkan adalah menurunkan angka kemiskinan.
Upaya memberdayakan masyarakat dan melawan kemiskinan harus terus dijadikan agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri No. 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2014, bahwa percepatan pengurangan kemiskinan menjadi salah satu agenda pada RKP Tahun 2014 yang menjadi kewajiban daerah mensinkronisasikan kebijakannya dengan kebijakan pemerintahan pusat dengan target penurunan angka kemiskinan nasional menjadi 8,0% - 10,0%. Pembangunan dalam berbagai bidang harus dilaksanakan dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya pemenuhan kebutuhan fisiologis berupa : pangan, papan, kesehatan dan pendidikan sehingga segenap anggota masyarakat dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung atau mampu melepaskan dari belenggu struktural yang menyengsarakan, dan meningkat kesejahteraannya.
APBD Kabupaten Sukabumi pada tahun 2014 nampak terlihat untuk total belanja sebesar Rp. 2.290.560.169.000,- mengalami kenaikan sebesar 13,39% dibandingkan total belanja APBD Tahun 2013, sedangkan total pendapatan sebesar Rp. 2.197.664.578.000,- mengalami kenaikan sebesar 14,51% dibandingkan total pendapatan tahun 2013, sehingga terjadi defisit sebesar Rp. 92.895.591.000,-.
Pada komponen pendapatan daerah, APBD Kabupaten Sukabumi tahun 2014 masih didominasi yang bersumber dari dana perimbangan sebesar Rp. 1.743.129.965.000,- (sekitar 79,32%) dari total pendapatan daerah, dengan alokasi DAU sebesar Rp. 1.458.379.433.000,- (83,66% dari total dana perimbangan). Untuk pendapatan asli daerah (PAD) Tahun 2014 sebesar Rp. 355.346.307.000,- (16,17% dari total pendapatan daerah), lain-lain pendapatan asli daerah yang sah menjadi pendapatan terbesar 45,74% dari total PAD dan yang kedua bersumber dari pajak daerah sekitar 43,32%.
Untuk komponen belanja daerah, bahwa komposisi Belanja Tidak Langsung (BTL) sampai saat ini masih pada posisi lebih besar daripada Belanja Langsung (BL), yaitu BTL sebesar Rp. 1.202.569.702.911,- (52,50% dari total belanja daerah), sedangkan BL sebesar Rp. 1.087.990.466.089,- (47,50% dari total belanja daerah). Komposisi ini dianggap mengalami kemajuan dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2013, perbandingan BTL dan BL adalah 58,38% BTL dan 41,62% BL.
Diskresi Kabupaten Sukabumi (Kewenangan/Keleluasaan Daerah dalam mengelola keuangan daerah) pada APBD tahun 2014 sebesar Rp. 1.035.658.169.089 (47,13% dari total Pendapatan Daerah). Sedangkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kabupaten Sukabumi pada APBD tahun 2012 sebesar 16,17% hal ini mengindikasikan bahwa Kemampuan Keuangan Kabupaten Sukabumi masih termasuk kategori sangat kurang. Adapun Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (KKD) Kabupaten Sukabumi pada APBD tahun 2012 adalah sebesar 19,29%, hal ini berarti bahwa tingkat ketergantungan Pemerintah Kabupaten Sukabumi terhadap bantuan pemerintah pusat dan provinsi masih tinggi.
Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik di daerah, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas merupakan dasar bagi perubahan yang lebih luas. Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintah merupakan prasyarat bagi tumbuhnya partisipasi publik dalam berbagai proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya menyebabkan terciptanya akuntabilitas pemerintahan. Partisipasi tidak akan berarti banyak jika masyarakat tidak mendapat akses yang adil untuk memperoleh informasi yang relevan yang seharusnya mendasari keputusan mereka. Sebaliknya, jika masyarakat mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, keputusan ini lebih dapat dipertanggungjawabkan, dan hak masyarakat atas tranparansi, partisipasi dan akuntabilitas pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan dapat terpenuhi.
Dengan adanya jaminan hak warga untuk memperoleh informasi berdasarkan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 61. Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya. Dalam kontek negara, informasi merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Karenanya, UU Keterbukaan Informasi Publik didasarkan atas Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karenanya keterbukaan informasi publik wajib dilakukan agar kedaulatan rakyat tetap terjunjung dan proses penyelenggaraan tata pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disisi lain upaya penanggulangan kemiskinan tidak akan terlepas dari data kemiskinan yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam membuat kebijakan, namun persoalan yang terkait kemiskinan dari mulai data kemiskinan dan penerima manfaat program kemiskinan belum terselesaikan secara konstruktif. Beberapa  persoalan terkait kemiskinan diantaranya : beragamnya data kemiskinan (masing-masing institusi memiliki data kemiskinan yang berbeda), minimnya pemanfaatan data kemiskinan untuk perencanaan & penganggaran, ketidaksesuaian & ketidaktepatan penerima manfaat & sasaran program penanggulangan kemiskinan, ketersediaan data kemiskinan yang tidak update pertahun.

Rabu, 28 Mei 2014

Peluang Penanggulangan Kemiskinan melalui Reforma Agraria di Kab. Sukabumi

Oleh: Ajat Zatnika


Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan.


Kemiskinan di Kabupaten Sukabumi walaupun secara agregat berkurang dari tahun ke tahun, namun kemiskinan masih menjadi masalah prioritas sekaligus tantangan yang harus diselesaikan ke depan. Berdasarkan  data  dari  BPS,  secara  persentase  terjadi  penurunan jumlah  Penduduk  miskin  dari  tahun  ke  tahun.  Tercatat  dari  tahun  2010 jumlah  penduduk  miskin  mencapai  10,65  %,  menurun  menjadi  10,33  % pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 sebesar 9,72 %. 

Kemiskinan di Kabupaten Sukabumi diduga sebagai akibat dari kepemilikan sumberdaya yang tidak merata, pendapatan dan pengeluaran yang tidak seimbang serta ketidaksamaan kesempatan berusaha.  Hal ini salah satunya berkaitan dengan pertambahan jumlah pengangguran dan angkatan kerja tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Penanganan masalah ketenagakerjaan masih merupakan agenda yang perlu mendapat perhatian serius, karena masalah tersebut memiliki kepekaan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat maupun terhadap keamanan dan stabilitas daerah/ regional. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2011 mencapai 62,05%, pada tahun 2012 angka TPAK mencapai 63,11%. Pada tahun 2011 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 9,47% dan pada 2012 mencapai 9,74% lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar 10%. Meskipun pertumbuhan jumlah angkatan kerja meningkat namun disisi jumlah pengangguran pun terus mengalami kenaikan. Melihat kondisi tersebut perlu ada terobosan-terobosan yang inovatif untuk mengatasi permasalahan tingginya angka pengangguran di Kabupaten Sukabumi, misalnya dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Kabupaten Sukabumi merupakan daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam, akan tetapi tidak bisa dimanfaatkan dan dikelola langsung oleh Daerah.


Beberapa  potensi  dan  sumber  daya  daerah  yang  masih  dapat dioptimalkan  untuk  meningkatkan  kualitas  pembangunan  dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, meliputi :
1.     Potensi  kepatuhan  para  pihak  (institusi  pemerintah,  swasta,  dan masyarakat)  yang  belum  optimal  dan  konsisten  dalam  melaksanakan peraturan  perundangan  atau  hasil  kesepakatan  yang  telah  ditetapkan bersama,  terutama  komitmen  terhadap  hasil  dokumen  perencanaan daerah.
2.    Potensi  penataan  organisasi  perangkat  daerah  akan  lebih  optimal apabila  diikuti  dengan  penataan  aparatur  secara  proporsional  dan berbasis kompetensi, baik di tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa/ Kelurahan.
3.       Potensi  peran  serta  masyarakat  dan  dunia  usaha  serta  pembagian peran  kelembagaan  masyarakat  terutama  di  tingkat  Desa  dan Kecamatan yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang efektivitas  manajemen  pembangunan  dan  penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4.    Potensi  pengelolaan  sumber  daya  alam  dan  lingkungan  yang  belum sepenuhnya  mengacu  pada  rencana  tata  ruang  dan  rencana pembangunan daerah, baik jangka panjang, jangka menengah maupun tahunan. Termasuk potensi pemanfaatan lahan ex-erfpacht/HGU di Kabupaten Sukabumi yang telah di redistribusikan kepada warga/dilegalisasi oleh Pemerintah melalui BPN pada program Reforma Agraria berupa aset dan akses reform.
5.     Potensi anggaran daerah, yang PAD nya terus mengalami peningkatan pada tahun 2014 mencapai 16% dari total Pendapatan Daerah. Bahwa kebijakan daerah tanpa ditunjang dengan PAD yang baik, maka proses pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Dalam hal pengelolaan PAD ini, perlu dilakukan secara terbuka, transparan dan akuntabel. Sehingga program dan kebijakan daerah bisa dipastikan dapat teratasi dengan pemanfaatan PAD secara efektif dan tepat sasaran berdasarkan target capaian pembangunan daerah.
Jumlah  penduduk  Kabupaten  Sukabumi  dari  tahun  ke  tahun mengalami  peningkatan.  Berdasarkan  data  BPS  Tahun 2012  (survei  sosial  ekonomi  nasional),  penduduk  Kabupaten  Sukabumi tercatat  sebanyak  2.408.338  jiwa,  dengan  komposisi  penduduk  laki-laki sebanyak  1.227.409  jiwa dan penduduk perempuan sebanyak  1.180.929 jiwa.  Data  proyeksi  sementara  dari  BPS,  jumlah  penduduk  Kabupaten Sukabumi  pada  tahun  2013  adalah  2.441.813  orang  atau  diproyeksikan ada kenaikan sebesar 1,39% dari tahun 2012.
Di sisi lain, di Kabupaten Sukabumi dari ke-9 sektor/lapangan usaha, yang  berkontribusi  terbesar terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi adalah sektor pertanian rata-rata sebesar 5,79 Trilyun rupiah pertahun, pada tahun 2012 sektor pertanian berkontribusi sebesar 6,02 Triliyun rupiah dengan tanaman bahan makanan salah satu faktor pendukung tingginya PDRB dari sektor pertanian (3,20 Trilyun rupiah),  disusul  kemudian  oleh  sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 5,63 Trilyun rupiah dengan faktor pendukung terbesar dari perdagangan besar dan eceran sebesar 4,73 Trilyun rupiah.
Sektor pertanian dengan jumlah kontribusi terbesar, namun sayangnya berdasarkan angka hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Sukabumi mengalami penurunan sebanyak 63.046 rumah tangga dari 354.800 rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 291.754 rumah tangga pada tahun 2013, yang berarti menurun sebesar 1,77 persen per tahun.

Hal terbukti bahwa semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian maka semakin berkurangnya lahan sawah dan  tambak. Bahkan jumlah rumah tangga usaha pertanian gurem di Kabupaten Sukabumi mengalami penurunan dari tahun 2003 sebanyak 282.047 menjadi 228.343 pada tahun 2013.
Berdasarkan rancangan RKPD Kabupaten Sukabumi Tahun 2015 bahwa perekonomian Kabupaten Sukabumi tahun 2015 dan tahun 2016 masih bertumpu pada basis produksi pertanian, kontribusinya diproyeksikan sebesar 25-30%. Namun demikian laju pertumbuhannya relatif rendah pada kisaran 2-3%, ini dikarenakan sektor pertanian merupakan sektor usaha yang memiliki nilai tambah (value added) yang kecil dibandingkan sektor usaha lainnya.  Pada masa yang akan datang diharapkan terjadi pergeseran kontribusi perekonomian Kabupaten Sukabumi dari sektor usaha pertanian kepada sektor usaha industri dan jasa dengan tetap mempertahankan produksi pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan struktural atau proses pemiskinan di negeri ini, khususnya di Kabupaten Sukabumi terjadi karena hilangnya aset dan akses produksi masyarakat miskin, khususnya di perdesaan. Oleh karenanya, upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat selayaknya diarahkan pada upaya-upaya sistematis untuk mengembalikan penguasaan aset dan akses produksi kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin di perdesaan.